Demi masa.Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.(QS,AL 'ASHR ayat 1-3 )

Rabu, 21 September 2011

Catatan dari Keprihatinan Seorang Teman

Kunci Pendidikan No.1 Terbaik di Dunia

Posted: 4 August 2010 by suciptoardi in Guru

Tahukah anda semua, negara mana yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia?. Bukan Amerika dengan Harvard-nya, bukan Jerman atau Perancis, atau juga Indonesia dengan ITB-nya…Negara itu adalah FINLANDIA ! Negara dengan ibukota Helsinki (tempat ditandatanganinya perjanjian damai antara RI dengan GAM) ini memang begitu luar biasa.


Peringkat 1 dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survei internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes tersebut dikenal dengan nama PISA (Programme for International Student Assesment) mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga Matematika. Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi juga menunjukkan unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental.

Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas. Lantas apa kuncinya sehingga Finlandia menjadi No. 1 di pentas dunia?

Ternyata kuncinya terletak pada kualitas guru. Di Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis.

Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan, dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima. Persaingannya lebih ketat daripada masuk ke Fakultas Hukum bahkan Fakultas Kedokteran!

Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian, ungkap seorang guru di Finlandia. Pada usia 18 tahun seorang siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi, dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK!

“Ini membantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri”, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia.

Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Adanya terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan, dan mengakibatkan suasana belajar menjadi tidak menyenangkan.
Kelompok siswa yang lambat mendapat dukungan intensif. Hal ini juga yang membuat Finlandia sukses.

Berdasarkan penemuan PISA, pada sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD. Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki.

Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan perilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dan lain sebagainya. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha.

Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan “Kamu salah” pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing. Ranking hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya.

Sumber : http://suciptoardi.wordpress.com/2010/08/04/kunci-pendidikan-no-1-terbaik-di-dunia/#comment-3945.

Jumat, 16 September 2011

Catatan Dari Seorang Teman

Fasisme: Catatan Kecil dari Ebenstein


Paham fasisme mencuat ketika dimulainya masa Perang Dunia II. Setidaknya perang yang muncul saat itu, terjadi sebagai akibat perkembangan ideology fasis di Italia, Jerman dan Jepang, yang ingin meluaskan pengaruh ekstra-nasionalisnya. Sehabis berlangsungnya Perang Dunia II, ideologi fasisme seakan-akan berakhir, tetapi hal yang terjadi tidak nyata demikian. Sebagai sebuah produk pemikiran, benih-benih fasisme akan terus ada selama terdapat kondisi obyektif yang membentuknya.

Ebenstein mencatat bahwa “jika komunisme adalah pemberontakan pertama terhadap liberalisme, maka fasisme adalah pemberontakan kedua”. Fasisme muncul dengan pengorganisasian pemerintahan dan masyarakat secara totaliter, kediktatoran partai tunggal yang bersifat: ultra-nasionalis, rasis, militeris dan imperialis. Fasisme juga muncul pada masyarakat pasca-demokrasi dan pasca-industri. Jadi, fasisme hanya muncul di negara yang memiliki pengalaman demokrasi. Hal- hal yang penting dalam penbentukan suatu karakter negara fasis adalah militer, birokrasi, prestise individu sang diktator dan terpenting, dukungan massa. Semakin keras pola kepemimpinan suatu negara fasis, semakin besar pula dukungan yang didapatnya.

Latar Belakang Fasisme

Kondisi penting lainnya dalam pertumbuhan negara fasis adalah perkembangan industrialisasi. Munculnya negara industri, memunculkan ketegangan sosial dan ekonomi. Jika liberalisme adalah penyelesaian ketegangan dengan jalan damai yang mengakomodasi kepentingan yang ada, maka fasisme mengingkari perbedaan kepentingan secara paksaan. Fasisme mendapat dukungan pembiayaan dari industriawan dan tuan tanah, karena kedua kelompok ini mengharapkan lenyapnya gerakan serikat buruh bebas, yang dianggapnya menghambat kemajuan proses produksi dalam industri. Sumber dukungan lain bagi rezim fasis adalah kelas menengah, terutama pegawai negeri. Mereka melihat fasisme adalah sebuah sarana untuk mempertahankan prestise yang ada sekaligus perlindungan politik. Fasisme juga memerlukan dukungan dari kaum militer, sebagaimana fasisme Jerman, Italia dan Jepang, sebagai jalan menuju militerisasi rakyat.

Meskipun fasisme bukan merupakan akibat langsung dari depresi ekonomi, sebagaimana teori marxis, tetapi jelas kaum fasis memanfaatkan hal itu. Banyaknya angka pengangguran akibat depresi, melahirkan kelompok yang secara psikologis menganggap dirinya tidak berguna dan diabaikan. Saat hal ini terjadi, maka fasisme bekerja dengan memulihkan harga diri mereka, dengan menunjukkan bahwa mereka adalah ras unggul sehingga mereka merasa dimiliki. Dengan modal inilah, maka fasisme juga memperoleh dukungan dari rakyat lapisan bawah.

Dengan demikian, fasisme bekerja pada setiap lapisan masyarakat. Fasisme memanfaatkan secara psikologis kesamaan-kesamaan pokok yang ada seperti: frustasi, kemarahan dan perasaan tak aman. Tak aneh, jika dalam sejarahnya rezim fasis senantiasa mendapatkan dukungan masyarakat. Terutama hal ini jelas terjadi di Jerman.

Akar-akar Psikologis Totaliterisme

Petunjuk ke arah pemahaman fasisme terletak pada kekuatan dan tradisi masyarakatnya. Di Jerman, Jepang dan Italia, tradisi otoritarianisme sudah menjadi hal yang terjadi berabad-abad. Sehingga munculnya rezim fasis merupakan hal yang biasa. Dengan cara hidup otoriter maka jalan menuju otorianisme hanya menunggu waktunya saja. Munculnya kediktatoran secara politik, ditandai dengan munculnya pemimpin yang menggebu-gebu meraih kekuasaan dan memiliki hasrat yang kuat untuk mendominasi.

Namun demikian antara sang diktator dan fasisme juga dipengaruhi iklim suatu masyarakat. Ada kalanya iklim suatu negara lebih mudah menerima kediktatoran dibandingkan dengan negara lainnya. Jerman, Italia dan jepang mungkin adalah tipekal negara demikian. Adanya gerakan massa yang otoriter dalam fasisme justru ditentukan oleh hasrat banyak orang untuk memasrahkan diri dengan setia. Hal ini tentunya tidak dapat diamati dari sudut pandang rasionalitas. Fasisme ibarat memanfaatkan kondisi psikologis kepatuhan sang anak kepada orang-tuanya. Dengan kepatuhan, maka sang anak akan terlindungi karena memiliki tempat bergantung.

Fasisme juga memiliki ciri untuk menyesuaikan diri dengan praktek kuno yang sudah ada. Mementingkan status dan kekuatan pengaruh, kesetiaan kelompok, kedisiplinan dan kepatuhan yang membabi-buta. Hal ini menyatu dalam membentuk karakter fasis. Sehingga sebagai suatu kesatuan, mereka hanya patuh terhadap perintah tanpa harus mempersoalkan apa dan bagaimananya.

Sebagai cara mempertahankan kesatuan, fasisme juga menciptakan musuh-musuh yang nyata maupun imajiner. Jerman memusuhi yahudi, karena yahudi dianggap ras rendah yang senantiasa mengotori kemurnian ras arya. Memusuhi kaum komunis maupun liberalis-kapital, karena mereka bukan bangsa arya atau indo-jerman. Jika merasa kekuatannya telah cukup untuk tidak sekedar berteori, maka kaum Fasis mulai menunjukkan sifat imperialisnya. Mereka akan menjanjikan kemenangan dalam permusuhan dengan bangsa lain. Kaum fasis senantiasa ingin menunjukkan bahwa mereka lebih unggul dari bangsa atau negara manapun. Nahasnya, apabila fasisme kalah, maka sang pemimpin fasis akan menjadi korban kehancuran rezimnya sendiri. Sejarah mencatat nasib tragis yang dialami Mussolini yang ditembak dan digantung oleh rakyatnya sendiri, setelah sebelumnya Italia mengumumkan kekalahannya dalam perang. Nasib Hitler mungkin sedikit lebih baik, karena ia “mati terhormat” tanpa harus tunduk kepada musuhnya.

Teori dan Praktek Fasisme

Doktrin dan Kebijaksanaan

Tidak seperti komunisme, fasisme tidak memiliki landasan prinsipil yang baku atau mengikat perihal ajarannya. Apalagi dewasa ini dapat dipastikan, bahwa fasisme tidak memiliki organisasi yang menyatukan berbagai prinsip fasis yang bersifat universal.

Namun demikian, bukan berarti fasisme tidak memiliki ajaran. Setidaknya para pelopor fasisme meninggalkan jejak ajaran mereka perihal fasisme. Hitler menulis Mein Kampft, sedangkan Mussolini menulis Doktrine of Fascism. Ajaran fasis model Italia-lah yang kemudian menjadi pegangan kaum fasis didunia, karena wawasannya yang bersifat moderat. Menurut Ebenstein, unsur-unsur pokok fasisme terdiri dari tujuh unsur:

Pertama, ketidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatic adalah sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar digunakan dalam rangka “tabu” terhadap masalah ras, kerajaan atau pemimpin.

Kedua, pengingkaran derajat kemanusiaan. Bagi fasisme manusia tidaklah sama, justru pertidaksamaanlah yang mendorong munculnya idealisme mereka. Bagi fasisme, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil, anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme menolak konsep persamaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideology yang mengedepankan kekuatan.

Ketiga, kode prilaku yang didasarkan pada kekerasan dan kebohongan. Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak dikenal istilah “oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara, maka mereka adalah musuh yang harus dimusnahkan. Dalam pendidikan mental, mereka mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap orang akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah. Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif kebenarannya.

Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip fasis, pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elit yang lebih tahu keinginan seluruh anggota masyarakat. Jika ada pertentangan pendapat, maka yang berlaku adalah keinginan si-elit.

Kelima, totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat total dalam meminggirkan sesuatu yang dianggap “kaum pinggiran”. Hal inilah yang dialami kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada wilayah 3 K yaitu: kinder (anak-anak), kuche (dapur) dan kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum fasis menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum penentang, maka totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.

Keenam, Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya dapat memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau dikuasai. Dengan demikian hal ini memunculkan semangat imperialisme.

Terakhir atau ketujuh, fasisime memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban internasional. Konsensus internasional adalah menciptakan pola hubungan antar negara yang sejajar dan cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak adanya persamaan tersebut. Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai derajat tertinggi bagi peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain bertindak menentang hukum dan ketertiban internasional.

Ekonomi Fasis

Ekonomi fasis menurut Ebenstein memiliki ciri negara korporasi. Dalam pemahaman ini, negara berkuasa untuk menata dan mengawasi system perekonomian. Negara fasis mengatur asosiasi modal dan tenaga kerja, dimana tenaga kerja diawasi dan asosiasi mendapatkan monopolinya. Dengan demikian negar berfunsi sebagai kelompok penengah.

Ada dua asumsi yang mendasari filsafat negara korporasi. Pertama,masyarakat biasa tidak boleh memikirkan hal-hal yang bersifat politik. Mereka hanya berhak menjalankan tugasnya sendiri-sendiri. Kedua, para elitlah yang dianggap memiliki kemampuan untuk memahami masalah seluruh anggota masyarakat. Karena itu hanya mereka yang berhak memerintah.

Demokrasi dengan tegas menolak hal ini. Demokrasi melihat bahwa aspek ekonomi dan politik adalah sesuatu yang tak terpisahkan. Selain itu sangat tidak mungkin para penguasa menggantikan “perasaan’ masyarakat yang dikuasai, terlebih lagi adanya prinsip kelas unggul di dalam masyarakat.

Bagi kaum fasis sendiri, Italia misalnya, negara korporasi bukanlah suatu respons atas kapitalisme maupun sosialisme liberal. Melainkan adalah suatu solusi kreatif dalam memikirkan kemakmuran ekonomi. Namun demikian, bagaimanapun fasisme yang totaliter tidak pernah mengizinkan persaingan bebas. Negara harus menunjukkan kuasanya diatas kepentingan atau unsur apapun.

Pada akhirnya, negara korporasi fasis terbukti kebangkrutannya. Saat Italia mulai dikalahkan oleh tentara sekutu pada Perang Dunia II, maka kepercayaan terhadap Il Duce juga memudar. Akhirnya, Mussolini harus merasakan hukuman mati dari rakyatnya sendiri.

Kasus “Fasisme” di Spanyol

Dalam melengkapi bahasannya, Ebenstein juga menceritakan mengenai keberadaan gerakan fasisme di Spanyol, di bawah pimpinan jendral Franco. Ebenstein mencatat bahwa ideology fasisme di Spanyol bertindak lebih moderat, karena pada awalnya ia hanya merupakan bentuk perkembangan kepentingan nasionalisme. Jendral Franco sendiri juga pada awalnya bukanlah seorang fasis, melainkan hanya militer biasa. Ia justru memanfaatkan kelompok Phalangis dalam menjalankan kekuasaannya. Berbeda dengan Fasisme Jerman dan Itali, dimana partailah yang memanfaatkan militer.

Bertahannya gerakan “fasis” franco lebih disebabkan karakter Spanyol yang agak berbeda dengan fasisme di Jerman maupun Italia. Di Spanyol, franco menjadi penguasa karena kemenangannya dalam perang saudara melawan kelompok republik. Ia juga mendapatkan dukungan kaum gerejawan, yang dipinggirkan dalam pemerintahan republik. Lebih penting, franco berkuasa atas negara yang baru mengembangkan industri dan baru bangkit sehabis perang, sehingga ketika Perang Dunia II terjadi, ia memilih untuk tidak melibatkan diri dalam persekutuan fasisme Italia-Jerman dan Jepang. Ketidak ikutsertaannyalah yang membuat rezim Franco mampu bertahan. Bahkan hingga kematiannya, ia masih di elukan oleh rakyatnya.

Namun demikian, pada akhirnya fasisme di Spanyol justru tumbang secara konstitusional dengan tahap kompromi yang lebih lunak. Dalam hal ini kelompok monarki Raja Juan Carlos memainkan hal yang penting, dan ternyata rakyat Spanyol juga tidak terlampau bereaksi karena perubahan yang ada. Lambat laun, Spanyol memasuki system liberalisme dan menjadi bagian masyarakat eropa.

Tanggapan terhadap bacaan

Tulisan ebenstein mengenai fasisme, mencoba mendudukkan ideology fasisme dalam tataran substansial. Ia melihat gejala fasisme sebagai suatu kondisi pada sebuah masyarakat, dan mungkin saja dapat terulang kembali. Tulisan ebenstein juga dikayakan dengan contoh kontemporer, yaitu kasus Spanyol.

Namun demikian, terdapat juga hal yang dirasakan kurang mengenai hal bagaimana fasisme mampu mempertahankan dukungan massa. Ebenstein hanya melihat adanya kekerasan sebagai suatu faktor pendukung, seakan melupakan faktor yang lainnya. Padahal, terdapat mekanisme penting yang dilupakan Ebenstein yaitu bagaimana kaum fasis menciptakan slogan atau ritus-ritus historis demi membangun karakter nasionalisme mereka. Bagaimanapun juga, jika kita mengamati munculnya negara fasis terdapat kecenderungan bahwa fasisme muncul pada negara yang memiliki identitas historis yang kuat.

Tentu bukan suatu kebetulan, selain menggunakan kekerasan, fasisme juga memanfaatkan parade atau aksi massa untuk memperkuat nasionalisme pendukungnya. Ketika Hitler atau Mussolini menciptakan gaya sapaan atau slogan dalam ritusnya, hal ini harus dilihat sebagai cara untuk menciptakan pola hubungan kharismatik (meminjam istilah Max Weber) antara penguasa dengan rakyatnya. Sehingga dalam konteks inilah hubungan patronase yang dikatakan ebenstein, dapat dilihat secara aktif. Secara psikologis, melihat manusia berduyun-duyun berkumpul memberi dukungan, maka akan menimbulkan nuansa sakralitas dan mitologis mengenai kemampuan komunal yang tak terkalahkan. Hitler lebih kuat fasismenya bukan hanya karena ia lebih kejam, melainkan juga karena ia mampu memanipulasi dengan cerdas symbol-symbol yang ada dalam masyarakat.

Faktor sejarah, juga merupakan kekuatan tersendiri. Hitler selalu mendengungkan “Third Reich”, Mussolini senantiasa mengatakan “Italia la Prima”, sedangkan Jepang senantiasa menunjukkan propaganda sebagai “Pemimpin Asia”. Ketika Hitler dan Mussolini menjabat sebagai kepala pemerintahan, maka keduanya juga membangun bangunan-bangunan megah sebagai symbol kejayaan suatu kekaisaran masa lampau. Bahkan Mussolini memperbaharui beberapa monumen Romawinya. Dengan kenangan masa lalulah, fasisme bergerak untuk menciptakan kejayaan di masa sekarang. Karena bagi mereka, hanya negara yang pernah unggul berhak atas sejarah dimasa sekarang. Dan inilah yang juga diandalkan oleh Hitler maupun Mussolini, dimana mereka mampu meyakinkan rakyatnya atas dasar keyakinan sejarah yang demikian.

Dalam konteks hubungan masa sekarang, ternyata ebenstein belum sampai pada kesimpulan penutup apakah masa depan fasisme masih ada. Pada titik inilah, terkadang muncul kealpaan kita dalam melihat keberadaan fasisme. Padahal fasisme yang rasis, sebagai suatu gagasan dan tindakan juga berada di mana-mana. Apakah benar yang ditunjukkan Paul Wilkinson (dan juga Harun Yahya), bahwa kekuatan kaum fasis sedang merasuki anak-anak generasi muda lewat gelombang musik punk dan skin head, dimana symbol nazisme senantiasa menjadi ikonnya. Atau apakah benar kelompok fasis sedang berupaya membangkitkan jati-dirinya kembali dengan hooliganisme di kancah sepak bola? Saya kira hal ini masih merupakan asumsi-asumsi yang harus dibuktikan oleh sejarah perihal kebenarannya.

Referensi

Ebenstein, William dan Edwin Fogelman. Isme-Isme Dewasa Ini, penerjemah: Alex Jemadu, Jakarta: Erlangga, 1990.

Hobsbawm, Eric. Age of Extremes, London: Abacus, 1994.

Wilkinson, Paul. New Fascist, Yogyakarta: Resist Book, 1995.

Sumber : http://newhistorian.wordpress.com/2008/01/04/fasisme/

Mitos Tradisi Lisan Tulang Bawang

Mitos Peradaban Tulang Bawang : Tantangan dan Harapan Terbukanya Misteri Kerajaan Kuno Tulang Bawang.

Proses Kehidupan sehari-hari manusia seperti halnya makhluk hidup lainnya dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungannya.Hubungan timbal balik yang terjadi di anatara manusia dengan lingkungan sekitarnya dipengaruhi oleh sistem budaya yang dimilikinya. Dengan demikian faktor budaya ini sangat penting bagi manusia untuk melakukan proses adaptasi dengan lingkungannya (Iskandar, 2001: 7). Di antara kebudayaan dan lingkungan alam terdapat hubungan timbal balik yang saling memberikan makna bagi kehidupan manusia. Manusia dapat memiliki kebudayaan karena adanya tantangan dari alam sekitarnya, sehingga pola perilaku manusia sangat cenderung untuk hidup selaras dengan alam sekitarnya demi kelangsungan dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia tersebut. Kontinyuitas perkembangan kebudayaan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan alam dan begitu pula sebaliknya. Menurut Koentjaraningrat culture (kebudayaan) berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau bertani. Berdasarkan arti kata tersebut, kebudayaan dapat dimaknai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.”


Dalam perkembangannya, terbentuknya kebudayaan tidak hanya melulu diartikan sebagai hasil pola manusia bercocok tanam dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi Kebudayaan merupakan berbagai hal yang mencakup hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Pada masyarakat yang kehidupannya sangat kompleks, wujud budayanya akan meliputi juga sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan. Wujud kebudayaan seperti itu disebut peradaban atau civilization (Koentjaraningrat, 1990: 182). Tingginya tingkat peradaban manusia tersebut dipengaruhi oleh faktor interaksi dan strategi adaptasi dengan lingkungan. Menurut Gordon Childe (1979: 12-14) evolusi peradaban manusia dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu savagery, barbarism, dan civilization. Tahap savagery dianggap sebagaimana masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa ini belum dikenal adanya hukum dan tata pemerintahan. Tahap barbarism merupakan masyarakat bercocok tanam yang sudah mengenal hukum dan tata pemerintahan secara sederhana dalam kelompok yang terbatas dan tertutup. Sedangkan pada tahap civilization adalah suatu masyarakat agrikultur dan industri. Kelompok masyarakat ini sudah mengenal tata pemerintahan dan hukum adat yang telah teratur. Selain Childe, Flannery juga membagi evolusi peradaban menjadi tiga tahap. Dasar pembagiannya pada adanya pemimpin dan penguasa. Menurut Flannery (1979: 28-30) tahap evolusi peradaban terdiri dari egalitarian society, chiefdoms, dan stratified society. Masyarakat egaliter menganggap bahwa semua derajad manusia dalam masyarakat adalah sama, tidak ada tingkatan maupun klas. Masyarakat chiefdoms sudah ada pembagian klas antara pemimpin dan yang dipimpin. Sedangkan stratified society merupakan masyarakat heterogen dengan berbagai klas dan tingkatan. Masyarakat yang demikian inilah yang sering dikatakan berperadaban tinggi. Masyarakat berperadaban tinggi pada masa lampau dapat dikenali berdasarkan tinggalan hasil budayanya.


Berdasarkan beberapa kajian, masyarakat Indonesia sudah sejak lama berada pada tingkat masyarakat berperadaban tinggi. Pada masa prasejarah tingginya peradaban dikenal melalui tinggalan monumen yang berlatarkan pada budaya megalitik. Masyarakat pada waktu itu dikatakan berperadaban tinggi karena sudah mengenal sistem organisasi sosial. Bangunan seperti menhir, dolmen, dan punden berundak menggambarkan adanya organisasi sosial tersebut. Selain itu dikenal pula adanya dan spesialisasi kerja. Pengetahuan tentang rancang bangun dan pengaturan kerjasama dalam kelompok masyarakat inilah yang merupakan salah satu indikator peradaban tinggi. Selain tinggalan bangunan megalitik, peradaban tinggi juga diperlihatkan pada sistem subsistensi masyarakat yang berbasis pada budidaya tanaman pangan yang tergantung pada sistem pengairan. Robert L. Carneiro berpendapat peradaban tinggi terbangun karena adanya keterkaitan dengan kemajuan teknologi pertanian. Dengan adanya teknologi terjadi surplus bahan pangan. Karena terjadi surplus tercipta waktu luang untuk mengembangkan usaha-usaha lain, sehingga terjadi spesialisasi kerja (Carneiro, 1970: 733-738). Teori ini dalam kenyataannya ditunjukkan oleh situs-situs pusat peradaban di Timur Tengah, Cina, Asia Selatan, dan Afrika Utara yang pada umumnya berada pada lembah-lembah subur.


Berdasarkan dua kasus di atas, pada intinya peradaban tinggi ditandai dengan adanya suatu sistem organisasi sosial. Secara kebetulan, dua kasus tersebut berkenaan dengan masyarakat agraris. Sementara itu subsistensi masyarakat tidak hanya berada pada sektor tersebut. Masyarakat yang permukimannya berada di tepi danau atau sungai-sungai besar cenderung menggantungkan hidupnya pada sektor nelayan atau petani ikan. Masyarakat demikian ini misalnya terlihat pada masyarakat di Tulangbawang. Beberapa situs permukiman kuna yang terdapat di Tulangbawang tidak ada yang meninggalkan jejak berupa bangunan megalitik. Sementara itu, sumber sejarah menunjukkan bahwa masyarakat pada waktu itu sudah menjalin hubungan dagang dengan dunia luar. Tomé Pires yang pernah singgah di Tulangbawang dalam perjalanannya dari Laut Merah ke Jepang pada tahun 1512 hingga 1515 memberitakan bahwa Tulangbawang merupakan penghasil lada, emas, kapas, lilin, rotan, beras, ikan, dan buah-buahan. Jalan masuk satu-satunya hanya melalui sungai. Perdagangan dilakukan dengan Jawa dan Sunda. Barang dagangan dikumpulkan kemudian dilakukan perdagangan antar pulau (Cortesão, 1967: 158 – 159). Salah satu barang komoditas dari Tulangbawang adalah ikan. Sebagai masyarakat yang tinggal di tepian sungai besar, sangat wajar bila salah satu barang komoditas unggulannya adalah ikan. Masyarakat Tulangbawang dalam menghasilkan ikan selain dari sungai juga dari lebak lebung yang ada di sekitar permukiman. Hingga sekarang komoditas ini masih dijadikan unggulan masyarakat. Posisi ikan dalam sektor perdagangan bagi masyarakat Tulangbawang tentunya memerlukan pengelolaan dengan melibatkan sistem organisasi. Dalam kaitannya dengan hal inilah peradaban tinggi diperlihatkan. Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana kaitan antara ikan dengan peradaban tinggi di Tulangbawang.


Situs-situs Permukiman di Tulangbawang
Beberapa situs permukiman kuna yang ditemukan di Tulangbawang berada di tepian sungai. Situs-situs tersebut antara lain adalah Benteng Sabut, Keramat Gemol, Benteng Minak Tumenggung, Batu Putih, dan Gunung Terang. Sebagai masyarakat penghasil ikan, permukiman tersebut selain berada di tepian sungai juga dekat dengan lebak lebung. Gambaran sekilas tentang situs-situs tersebut sebagai berikut:


Situs Benteng Sabut (Saptono, 2008: 47 – 49). Secara geografis situs ini berada pada kelokan Way (Sungai) Kiri pada posisi 430’20” LS dan 10500’21” BT, secara administratif termasuk wilayah Kampung Gunungkatun. Kondisi situs berupa lahan yang dikelilingi parit dan benteng tanah. Di sebelah barat situs terdapat aliran Way Pikuk. Di sebelah selatan muara Way Pikuk terdapat muara Way Papan. Di sekitar Benteng Sabut terdapat beberapa rawa (bawang) antara lain Bawang Kelapo terdapat di sebelah barat dan Bawang Petahi di sebelah timur laut benteng.


Tradisi lisan masyarakat menyebutkan bahwa pemukiman di Benteng Sabut dibuka oleh Minak Kemala Kota. Minak Kemala Kota mempunyai tiga keturunan yaitu Tuan Riou Nyembang Luih, Namo, dan Bulan. Namo menikah dengan Moyang Runjung. Pernikahan antara Moyang Runjung dengan Putri Minak Kemala Kota bernama Namo selanjutnya menurunkan tokoh-tokoh Marga Tegamoan yaitu Tuan Rio Mangkubumi yang berkedudukan di Pagardewa, Tuan Rio Tengah yang berkedudukan di Meriksa (Menggala), dan Tuan Rio Sanaah yang berkedudukan di Panaragan. Hilman Hadikusuma menerangkan bahwa Runjung adalah anak Minak Sebala Kuwang. Runjung menikah dengan Senama, yaitu anak Putri Bulan saudara Ratu Dipuncak. Dari perkawinan ini menurunkan Tuan Riyo Mangkubumi, Tuan Riyo Tengah, dan Tuan Riyo Sanak (Hadikusuma, 1989: 47).


Situs Keramat Gemol (Saptono, 2008: 51 – 53). Secara geografis situs ini berada pada posisi 429’14” LS dan 10502’15” BT, secara administratif termasuk dalam wilayah Kampung Panaragan. Situs berada pada kelokan sungai di sebelah barat Way Kiri. Di sebelah timur situs merupakan pertemuan antara Way Kiri dengan Way Gemol. Way Gemol yang merupakan anak sungai Way Kiri mengalir di sebelah tenggara situs.


Lahan situs dikelilingi parit dan benteng tanah dan parit, kecuali di sisi barat laut yaitu berbatasan langsung dengan Way Kiri. Pada sekeliling areal situs berjarak antara 200 – 500 m terdapat semacam lembah. Di sebelah selatan benteng, lembah bermula dari Way Kiri (sebelah tenggara) memutar ke arah selatan hingga barat daya dan berakhir di sebelah barat benteng. Lembah ini disebut kandungan Badak. Di sebelah utara benteng, lembah juga bermula dari Way Kiri memutar ke arah barat laut hingga ke arah barat. Lembah ini disebut kandungan Minak Muli.


Menurut tradisi lisan masyarakat, tokoh yang membuka perkampungan dan juga sebagai pemimpin di Keramat Gemol adalah Minak Indah. Tokoh ini merupakan keturunan dari salah satu tokoh marga Tegamoan di Tulangbawang. Pada marga tersebut terdapat tiga orang tokoh yaitu Tuan Rio Mangkubumi, Tuan Rio Tengah, dan Tuan Rio Sanaah.


Tuan Rio Mangkubumi bermukim di Pagardewa, mempunyai anak di antaranya Minak Kemalabumi dan Minak Sang Putri. Tuan Rio Mangkubumi dimakamkan di Pagardewa. Tuan Rio Tengah bermukim di Menggala dan dimakamkan di Meriksa (Menggala). Tuan Rio Sanaah bermukim di Panaragan dan dimakamkan di Gunung Jejaiwai (Panaragan).


Tuan Rio Sanaah yang tinggal di Panaragan mempunyai keturunan Minak Indah, Minak Ma’dum, Minak Raja Ratu, dan Minak Sang Putri (Menteri). Di samping itu juga mengangkat Minak Rio Bageduh, Minak Raja Malaka, dan Prajurit Puting Gelang. Ketiga tokoh ini berasal dari Minangkabau.


Situs Benteng Minak Temenggung. Situs ini berada di sebelah barat Way Tulangbawang, sebelah timur Kampung Penumangan berjarak lurus sekitar 3 km atau pada posisi 427’02” LS dan 10507’52” BT. Berdasarkan gejala yang terlihat, benteng tersebut membujur dengan orientasi utara – selatan dengan panjang 600 hingga 800 m. Ujung utara benteng bermula pada Bawang Potat dan pada ujung selatan pada Bawang Bakon.

Keberadaan situs Benteng Minak Temenggung berhubungan dengan etno-sejarah mengenai tokoh Minak Temenggung. Sebagian masyarakat menyatakan bahwa Minak Temenggung adalah tokoh yang ada hubungannya dengan masyarakat Pagardewa. Sebagai tokoh besar Minak Temenggung memegang jabatan penting dalam membangun masyarakat Pagardewa di bawah naungan Kesultanan Banten.


Situs Batu Putih (Saptono, 2006: 93 – 95). Secara administratif situs ini termasuk dalam wilayah Kampung Gunung Terang, Kecamatan Gunung Terang. Keramat Batu Putih berhubungan dengan riwayat lima moyang yaitu Patih Trio Terbumi yang dimakamkan di Negeri Besar, Minak Trio Bumi dimakamkan di Gunung Terang, Minak Serio Bumi dimakamkan di Bakung, Minak Buay Sugih dimakamkan di Batu Putih, dan Minak Kemala yang makamnya ada di Negeri Batin.


Kawasan Batu Putih berada di sebelah selatan Way Kanan. Di kawasan ini terdapat beberapa sungai kecil yang bermuara di Way Kanan. Sugai-sungai tersebut adalah Way Kemerting yang mengalir di bagian paling hulu (barat). Ke arah hilir terdapat aliran Way Mejelapai. Ke arah hilir lagi terdapat beberapa cekungan-cekungan yang disebut kandungan. Situs Batu Putih berada di antara dua kandungan.


Situs Gunung Terang (Saptono, 2004: 42 – 54). Secara administratif situs ini terdiri dari Kampung Gunung Terang dan Gunung Agung, namun secara fisik kedua kampung tersebut menyatu. Pemukiman secara umum berada di tepian Way Kanan sebelah timur dan utara aliran sungai. Pola pemukiman memanjang utara – selatan. Kampung Gunung Agung berada di bagian selatan sedangkan di bagian utara merupakan Kampung Gunung Terang. Di daerah ini aliran Way Kanan berkelok-kelok. Bermula dari arah barat daya menuju arah barat laut. Di dekat pemukiman sungai berbelok ke arah selatan kemudian ke arah timur. Pada kelokan sungai dari arah utara ke arah timur masyarakat menyebutnya Lubuk Kali Mangkuk. Aliran Way Kanan dari Lubuk Kali Mangkuk ke arah timur terdapat pertemuan sungai antara Way Ngisen dengan Way Kanan. Way Ngisen bermula di Bawang Ngisen yang berada di sebelah barat laut kampung. Di bagian hilir sungai ini disebut Tulung Mayat. Di dekat muara Way Ngisen terdapat bukit kecil yang disebut Gunung Sri Gandow.


Pada bagian selatan pemukiman terdapat cekungan parit yang disebut pelantingan, membujur dari selatan ke utara hingga Way Ngisen. Parit ini dijadikan batas antara Kampung Gunung Agung dengan Gunung Terang. Di bagian utara pemukiman juga terdapat parit/sungai buatan yang menghubungkan antara Way Kanan dengan Way Ngisen. Sungai ini disebut Sungai Pengaliran Darah. Kawasan di sebelah selatan dan timur perkampungan terdapat beberapa lebung antara lain Lebung Seroja yang terdapat di antara pelantingan dengan Way Kanan, Lebung Kibang terdapat di sebelah barat laut Gunung Sri Gandow, dan Lebung Tikak yang berada di sebelah timur kampung. Mengenai tokoh cikal bakal masyarakat Gunung Terang adalah Minak Sekendar Alam. Keturunan Minak Sekendar Alam di antaranya tiga laki-laki yaitu Tuan Riou Terbumi, Minak Patih Seriou Bumi, dan Minak Riou Bumi. Tuan Riou Terbumi dimakamkan di sebelah hilir Moyang Purba, Negeri Besar, menurunkan Suku Tepuk Gabou. Minak Patih Seriou Bumi dimakamkan di Gunung Terang keturunannya disebut Suku Pinggir Way. Minak Riou Bumi dimakamkan di Kurindang, Meriksa menurunkan Suku Tepuk Gedung.


Ikan dan Sistem Organisasi
Masyarakat di Tulangbawang banyak yang menggantungkan pada sumberdaya alam hayati berupa ikan. Di Tulangbawang keberadaan ikan itu sendiri berhubungan erat dengan lebak lebung sebagai habitat ikan. Lebak lebung dapat difahami sebagai the commons, yaitu sesuatu yang dianggap milik semua orang atau bukan milik siapa-siapa sehingga setiap orang bebas mengakses untuk memanfaatkan. Kajian Garrett Hardin (1968: 1244), menyatakan bahwa apabila masyarakat salah dalam mengelola the commons akibatnya akan terjadi suatu bencana besar. Tragedy of the commons disebabkan karena jumlah penduduk terus meningkat sementara sumberdaya alam terbatas. Kondisi demikian ini pada gilirannya akan terjadi situasi di mana sumberdaya alam tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan manusia. Sementara itu, manusia terjebak pada konsep untuk mengakses sumberdaya alam secara tanpa batas. Pada beberapa masyarakat ternyata secara kolektif mampu mengelola the commons sehingga dapat dimanfaatkan secara turun temurun. Masyarakat nelayan di Great Lake, yang meliputi Danau Erie dan St. Clair, Kanada mengelola penangkapan ikan dengan cara membagi areal berdasarkan alat tangkap. Selain itu pada masa-masa tertentu dilakukan pengosongan jaring. Pembatasan jumlah nelayan yang beroperasi juga dilakukan. Pengelolaan seperti itu berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi (Berkes, 1985). Sedikit berbeda dengan yang di Great Lake tersebut, sumberdaya alam yang tersedia di Tulangbawang berupa lebak lebung. Lebak merupakan kawasan rawa yang genangan airnya dipengaruhi air hujan atau luapan sungai. Lebak biasanya berada di antara dua sungai besar di dataran rendah. Berbeda dengan rawa pasang surut yang genangan airnya dipengaruhi pasang surut air laut harian, lebak tergenang selama musim hujan dan berangsur-angsur kering pada musim kemarau.


Ada tiga jenis lebak berdasarkan tinggi dan lama genangan. Lebak pematang atau dangkal, bila genangannya kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan; lebak tengahan, dengan genangan air antara 50 - 100 cm selama 3 - 6 bulan; dan lebak dalam bila genangan airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan. Kawasan lebak dalam yang menghasilkan produksi ikan secara alami dikenal dengan istilah lebak lebung. Beberapa situs permukiman di Tulangbawang pada umumnya berada dekat dengan pedataran limpah banjir (floodplain). Situs Benteng Sabut, Keramat Gemol, Benteng Minak Tumenggung, Batu Putih, dan Gunung Terang lokasinya dikelilingi pedataran limpah banjir berupa bawang (rawa), kandungan (lahan yang lebih rendah dari daerah sekitar), dan lebak lebung. Lahan berupa pedataran limpah banjir dapat difungsikan sebagai lebak lebung. Perairan tipe sungai dan rawa banjiran mempunyai ciri khas, yaitu di mana fluktuasi air yang sangat berbeda antara musim penghujan dan musim kemarau. Pada musim penghujan air sungai meluap hingga menggenangi sebagian besar arealnya kecuali bagian tanah yang tinggi, sebaliknya pada musim kemarau air sungai menjadi surut dan sebagian besar arealnya kering kecuali bagian yang dalam meliputi sungai utama dan lebung (Welcome, 1985).


Rawa-rawa di DAS Tulangbawang menyokong kehidupan sejumlah penting ikan, baik dalam hal keanekaragaman jenis maupun jumlah hasil panennya yang telah memberikan sumbangan yang berarti bagi penghasilan masyarakat setempat. Setidaknya terdapat 88 jenis ikan yang terdapat di sekitar rawa-rawa di DAS Tulang Bawang tersebut. Beberapa jenis ikan rawa yang ekonomis penting antara lain: arwana, belida, jelabat, tawes, seluang, lais, gabus, baung, lele, gurami, dan lain-lain. Beberapa jenis ikan-ikan ini secara periodik beruaya dari rawa ke sungai atau sebaliknya. Pada waktu air sungai meluap menggenangi rawa di sekitarnya, beberapa jenis ikan melakukan migrasi ke rawa tersebut dan memijah di lokasi tersebut. Lokasi ini juga merupakan lokasi bagi pembesaran anakan ikan (nursery ground).


Pemanfaatan lebung sebagai sumber ikan sudah berlangsung sejak lama. Aktifitas penangkapan ikan dilakukan pada akhir musim penghujan atau awal musim kemarau. Pada musim penghujan di mana air sungai besar melimpah, lebung akan terisi air dan ikan akan memasukinya. Ketika musim kemarau, air kembali ke sungai besar. Pada saat itu di pintu masuk lebung dipasang jebakan dan perburuan ikan di lebung dilakukan. Sampai sekarang pola penangkapan ikan dengan sistem pemanfaatan lebung masih berlanjut dikelola secara tradisional oleh marga (Djausal, 1996). Meskipun pelaksana penangkapan oleh banyak orang namun operasional pengelolaannya berada di tangan kepala marga. Hasil dari perburuan ini kemudian diperuntukkan bagi masyarakat anggota marga. Dalam hal ini terjadi model pertukaran redistribusi. Pada saat sekarang di mana sistem pemerintahan adat marga sudah tidak berlaku secara efektif, pengelolaan lebak lebung berada di tangan pemerintah.


Gambaran pengelolaan sumberdaya alam berupa lebak lebung juga terjadi pada masa ketika situs-situs permukiman dihuni. Kalau pada masa sekarang terdapat pemerintahan adat marga, dahulu dikelola oleh kepala kampung. Tomé Pires yang pernah mengunjungi Lampung menjumpai kelompok masyarakat yang masih kafir terutama yang tinggal di daerah hulu (Cortesão 1967: 158). Masyarakat pra-Islam yang oleh Tomé Pires disebut dengan istilah cafre juga dijumpai di pedalaman Banda. Mereka tidak mempunyai kerajaan tetapi desa-desanya diperintah oleh cabila dan orang tua-tua. Sistem pemerintahan seperti ini menurut Antonio Galvao juga terdapat di Maluku. Mereka bermukim dalam lokasi tertentu dengan batas-batas wilayah yang jelas. Keperluan hidup sehari-hari dipenuhi secara bersama-sama. Masyarakat ini juga dipimpin oleh orang tua yang dianggap lebih baik dari pada yang lainnya (Tjandrasasmita, 1984: 174).


Sistem pemerintahan seperti ini merupakan budaya bangsa Indonesia sejak zaman sebelum mendapat pengaruh India (Hindu-Buddha). Masyarakat pra-Hindu sudah memiliki tingkat hidup yang sama dengan apa yang terdapat dalam struktur sosial dan kehidupan sosial-ekonomi bangsa Indonesia di berbagai daerah pada masa sekarang. Pertanian dengan irigasi dan sistem administrasi memunculkan negara-negara patrimonial-birokratis dalam berbagai ukuran. Pada saat yang sama terdapat pula bentuk-bentuk organisasi desa-desa yang sangat berkembang dengan keluarga-keluarga sebagai intinya. Orang tua-tua desa sebagai pengawas terhadap wilayah kadang-kadang juga sebagai kepala-kepala yang patrimonial (Tjandrasasmita, 1984: 175).


Gambaran tentang pola pemerintahan patrimornial terlihat pula pada sistem pemerintahan adat marga. Pemerintahan adat marga di Tulangbawang mengenal pola kepemimpinan secara kolektif terdiri dari para anggota keluarga tertua dari masing-masing keturunan yang disebut punyimbang. Punyimbang tertua merupakan pemegang status sosial tertinggi di antara masyarakat kelompoknya. Punyimbang dari keturunan kedua bertindak sebagai kelompok masyarakat yang menjaga kehormatan kelompok lebih tua pemegang status sosial tertinggi. Punyimbang ketiga dari keturunan ketiga bertindak sebagai kelompok pelaksana ekonomi, pengatur pertanian dan perniagaan. Punyimbang-punyimbang yang datang untuk bergabung yang bukan bukan merupakan kerabat tidak punya kedudukan dalam pengaturan tetapi sebatas mengatur kerabat masing-masing. Masyarakat Lampung dalam berserikat dan berkumpul dalam satu kelompok akan menuakan, menghormati, dan menempatkan kedudukan tertinggi kepada punyimbang asal keturunan yang disebut punyimbang marga atau punyimbang paksi (Hadikusuma, 1989: 7 – 8). Kondisi masyarakat seperti itu berlangsung sejak zaman sebelum Islam.


Tradisi lisan yang hidup di masyarakat Tulangbawang banyak menghubungkan bekas perkampungan tua dengan tokoh moyang tertentu. hal ini memberikan suatu gambaran bahwa mereka sudah mengenal sistem organisasi. Gambaran sistem organisasi pada berbagai masyarakat dapat terlihat dari tinggalan budaya fisik. Bangunan seperti punden berundak dan menhir dari masa prasejarah walaupun lebih bersifat religi, namun juga memberikan gambaran kehidupan sosial masyarakat. Pertanian dengan sistem irigasi memberikan gambaran kehidupan sosial masyarakat agraris. Bagi masyarakat nelayan darat atau petani ikan sebagaimana di Tulangbawang, lebak lebung yang berada di sekitar situs pemukiman dapat memberi gambaran dinamika masyarakat pada waktu itu dalam mengelola sumber perikanan.

Daftar Pustaka

Berkes, Fikret. 1985. The Common Property Resource Problem and the Creation of Limited Property Rights. Dalam Human Ecology, Vol. 13, No. 2, hlm. 187 – 208.

Carneiro, Robert L. 1970. A Theory of the Origin of the State. Dalam Science 169, hlm. 733 – 738.

Childe, V. Gordon. 1979. The Urban Revolution. Dalam Gregory L. Possehl (ed.) Ancient Cities of the Indus. Durham: Carolina Academic Press.

Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.

Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan, KITLV.

Djausal, Anshori. 1996. Pendekatan Lingkungan Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang. Makalah dalam Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang. Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang.

Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.

Nurhakim, Lukman dan Moh. Ali Fadillah. 1990. “Lada: Politik Ekonomi Banten di Lampung”. Dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III: Agrikultur Berdasarkan Data Arkeologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 258 – 274.

Kamis, 18 Agustus 2011

MENYUSUN LAPORAN PPL 2011

MENYUSUN LAPORAN PPL 2011

Sebuah laporan merupakan dokumen tertulis, yang memberikan bukti-bukti sekaligus media komunikasi antara peneliti dan pembaca. Oleh karena itu, di dalam penulisan laporan, penulis harus memperhatikan persyaratan-persyaratan berikut:

ü Menggunakan bahasa yang komunikatif, baik, dan benar.

ü Sistematikanya harus benar dan disesuaikan dengan langkah-langkah penulisan laporan yang telah ditentukan.

SYARAT-SYARAT PENULISAN LAPORAN

Ø Penulis laporan harus tahu betul kepada siapa laporan itu ditujukan.

Ø Penulis laporan harus menyadari bahwa pembaca laporan tidak mengikuti semua kegiatan penelitian/PPL di lapangan.

Ø Penulis laporan harus menyadari bahwa latarbelakang pengetahuan, pengalaman, dan minat pembaca laporan tidaklah sama.

Ø Laporan PPL merupakan elemen yang pokok dalam prosses kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, hal yang sangat penting dalam laporan adalah kejelasan dan kemampuan menyakinkan para pembaca.

SISTEMATIKA LAPORAN PRAKTEK PENGALAMAN LAPANGAN (PPL ) 2011

1. Bagian Pendahuluan

Ø Halaman Judul

Ø Halaman Pengesahan

Ø Kata Pengantar

Ø Daftar Isi

Ø Daftar Tabel

Ø Daftar Gambar/ilustrasi atau diagram-diagram

2. Gambar Laporan (body of the paper) yang berisi :

BAB I. PENDAHULUAN

Ø Latarbelakang Masalah/Permasalahan

Ø Rumusan Masalah

Ø Tujuan Praktek Pengalaman Lapangan

Ø Manfaat Praktek Pengalaman Lapangan

Ø Ruang Lingkup Praktek Pengalaman Lapangan

BAB II. KONSEP/GAMBARAN UMUM PPL DAN SEKOLAH

Ø Gambaran Umum Tentang PPL

ü Dasar Pelaksanaan PPL

ü Pengertian PPL

Ø Gambaran Umum Sekolah

ü Visi dan Misi Sekolah

ü Analisis Satuan dan Kondisi Sekolah secara Umum

ü Potensi Keadaan Lingkungan Sekolah

ü Kompenen-Kompenen Sekolah dan Programnya

ü Struktur Organisasi

ü Interaksi Sosial Sekolah

BAB III. HASIL PRAKTEK PENGALAMAN LAPANGAN DAN PEMBAHASAN

Ø Observasi Setting Kelas dalam PPL

ü Kurikulum

ü Program Pembelajaran

ü Keadaan Fisik Kelas, Ruang Kelas, dan Pengaturan Kelas

ü Kegiatan Belajar Mengajar

Ø Realisasi Kegiatan Belajar Mengajar

ü Mengajar Terbimbing

ü Mengajar Mandiri

ü Uji Praktek Pengalaman Lapangan

§ Faktor Pendukung

§ Faktor Penghambat

§ Cara Mengatasi Hambatan

Ø Pembahasan Praktek Pengalaman Lapangan

ü Pandangan dari Pamong Tentang Pelaksanaan PPL

§ Perencanaan Pembelajaran

§ Pengorganisasian Pembelajaran

§ Tujuan Pembelajaran

ü Pandangan dari Kepala Sekolah/Dewan Guru Tentang Pelaksanaan PPL

§ Kedisiplinan Peserta Selama PPL

§ Kesopanan Peserta selama PPL

§ Interaksi Peserta selama PPL

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Ø Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan harus dibuat singkat, padat, dan jelas. Kesimpulan berisi hal-hal

yang telah di bahas pada bab sebelumnya. Pada bagian ini juga diberikan saran

terhadap masalah-masalah baru untuk diteliti dan diperbaiki lebih lanjut.

3. PENUTUP

Bagian penutup umumnya terdiri dari daftar pustaka, lampiran dan

indeks (jika ada).

Ø Daftar Pustaka

Pada bagian ini disebutkan semua buku sumber yg digunakan sebagai

penunjang dalam penulisan laporan PPL. Hal-hal yg perlu dikemukakan

adalah nama penulis, tahun penerbitan, judul buku, tempat penerbitan,

dan nama penerbit.

Ø Lampiran

Lampiran memuat hal-hal yg perlu diketahui pembaca. Biasanya

meliputi hal-hal berikut :

ü Contoh format kuesioner, wawancara atau pengamatan.

ü Dokumen penting lainnya, seperti foto atau naskah tertentu, Peta Lokasi Sekolah, Data jumlah guru, dan lain-lain.

Pengikut

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini ?

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani


visit counter

Arsip Blog