Demi masa.Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.(QS,AL 'ASHR ayat 1-3 )

Kamis, 12 Januari 2012

Pengembangan Pembelajaran Sejarah

Pengembangan Pembelajaran Sejarah

Semenjak tahun 1957, cikal bakal pembahasan mengenai persoalan historiografi dalam pembelajaran sejarah di Indonesia seringkali dibahas dan didiskusikan, namun mengalami kemandekan. Terutama persoalan yang menyangkut landasan filosofis dan metodologis pembelajaran sejarah Indonesia. Tidak sedikit kalangan yang menganggap apa yang telah digagas pada tahun 1957 itu seolah-olah “sudah final” dan tidak perlu dikaji kembali. Seminar Nasional Sejarah pada tahun 1957 itu terkait tentang konsepsi Sejarah Nasional Indonesia yang mencoba menggagas sejarah masyarakat Indonesia dari sudut pandang orang Indonesia sendiri. Namun, pada perkembangannya muncul persoalan besar dalam historiografi dan pembelajaran sejarah kita. Sebagian kalangan sejarawan bahkan mencoba “menggugat” Indonesiasentris yang pernah digagas pada tahun 1957 itu. Kekritisan ini tentunya harus dibaca sebagai kegelisahan intelektual yang mencoba untuk merumuskan kembali konsepsi sejarah nasional Indonesia yang bercorak lebih dekat kepada fakta masa lalu masyarakat. Perkembangan ini tentunya harus disambut gembira karena sebagai ilmu, sejarah menjadi dinamis dan tidak stagnan. Perkembangan intelektual yang menyangkut historiografi ini sudah selayaknya diapresiasi. Konseptualisasi mengenai historiografi Indonesia dalam pembelajaran sejarah pada saat ini hendak dibawa ke arah mana ? Apakah peristiwa-peristiwa yang terjadi dimasa lampau ditulis kembali oleh para ahli sejarah dan sejarahwan hanya berorientasi pada filosofis, ideologis, dan kepahlawanan saja ? itulah yang mengemuka secara intens dalam diskusi diskusi nasional nasional tentang pembelajaran sejarah yang kreatif dan inovatif, baik dari segi isi maupun media yang digunakan.

Hal inilah yang menjadikan paradigma masyarakat terhadap pelajaran sejarah sebagai hal yang tidak penting untuk dipelajari, sehingga pelajaran sejarah merupakan pelajaran yang terkatagori nomer dua, bahkan nomer sekian dari beberapa mata pelajaran yang di sampaikan di sekolah sehingga guru apapun basic pendidikannya, dan dengan pertimbangan sejarah adalah mata pelajaran hapalan dan mudah maka guru apapun dapat mengajarkannya.

Ironi memang, di saat pemerintah mulai mencanangkan profesionalisme dalam pembelajaran dengan diluncurkannya sertifikasi guru, masih banyak ditemukan di temukan sekolah yang memberikan tugas kepada guru yang tidak berbasic sejarah mengajar sejarah, kapan yang namanya profesionalisme dapat dicapai.Itu adalah sisi pembelajaran sejarah yang terkatagori tidak tepat, tetapi disisi lain kadang kekeliruan datang dari ketidakmampuan guru sejarah menciptakan inovasi model pembelajaran, ataupun menggunakan metode pembelajaran yang kreatif.

kekeliruan metode pembelajaran sejarah yang dikembangkan oleh guru disebabkan oleh faktor: (1) padatnya materi pelajaran sehingga memungkinkan untuk mengambil jalan pintas, berarti mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik; (2) guru tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk membelajarkan sejarah yang dapat menarik minat siswa; dan (3) guru cenderung menggunakan satu metode dalam membelajarkan keseluruhan materi, tanpa mempertimbangkan karakteristik dari setiap topik materi yang disampaikan. Kekeliruan dalam pembelajaran sejarah semakin mendapat penguatan karena pilihan pekerjaan menjadi guru sejarah bukan panggilan moral, tetapi hanya ingin cepat mendapat pekerjaan.

Ada empat komponen yang saling berkait dan menjadi penyebab munculnya masalah dalam pembelajaran sejarah, yakni: (1) tenaga pengajar sejarah yang pada umumnya miskin wawasan kesejarahan karena ada semacam kemalasan intelektual untuk menggali sumber sejarah, baik berupa benda-benda, dokumen maupun literatur. Pengajar sejarah yang baik adalah mereka yang mampu merangsang dan mengembangkan daya imajinasi peserta didik sedemikian rupa, sehingga cerita sejarah yang disajikan menantang rasa ingin tahu; (2) buku-buku sejarah dan media pembelajaran sejarah yang masih terbatas; (3) peserta didik yang kurang memberikan respons positif terhadap pembelajaran sejarah; dan (4) metode pembelajaran sejarah pada umumnya kurang menantang daya intelektual peserta didik.

Tanpa bermaksud mengabaikan pentingnya membenahi komponen lain, tampaknya pembenahan metode pembelajaran sejarah paling realistis, karena terjangkau oleh guru dan relatif kecil biayanya.apabila kita ingin memperbaiki citra buram dari pelajaran sejarah, diperlukan antara lain usaha-usaha perbaikan cara mengajar guru sejarah. agar sejarah dapat berfungsi, metode pembelajaran sejarah di sekolah harus dibenahi. Pembenahan metode pembelajaran sejarah tidak sekadar menjadi pemicu minat belajar, tetapi juga sebagai salah satu instrument yang berperan memproses anak didik agar mendapat hasil belajar yang baik.

Langkah awal untuk merevitalisasi metode pembelajaran adalah berusaha memahami bagaimana seharusnya mata pelajaran sejarah diajarkan. Setidaknya, ada lima unsur pembelajaran sejarah yang harus diimplementasikan: (1) variatif; pembelajaran apapun yang dilakukan jika monoton pasti membuat siswa jenuh, bosan, dan akhirnya kurang berminat. Hal ini terjadi dalam pembelajaran sejarah, karena terkonsentrasi pada penerapan metode ceramah, sehingga kesan yang muncul adalah mata pelajaran sejarah identik dengan metode ceramah, bahkan sebagian besar guru sejarah berasumsi bahwa materi sejarah dapat dipindahkan secara utuh dari kepala guru ke kepala peserta didik dengan metode pembelajaran yang sama. (2) dari fakta ke analisis; pembelajaran sejarah di berbagai sekolah ternyata lebih menekankan pada fakta sejarah dan hafalan fakta seperti pelaku, tahun kejadian, dan tempat kejadian. Idealnya, pembelajaran sejarah bukan sekadar transfer of knowledge tetapi juga transfer of value, bukan sekadar mengajarkan siswa menjadi cerdas tetapi juga berakhlak mulia. Karena itu, pembelajaran sejarah bertujuan untuk mengembangkan keilmuan sekaligus berfungsi didaktis, bahwa maksud pengajaran sejarah adalah agar generasi muda yang berikut dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman nenek moyangnya.

Menurut Mestika Zed siswa tidak cukup dijejali kesibukan kognitif menghafal pengetahuan lewat fakta-fakta yang sudah mati di masa lalu, sebagaimana banyak terjadi selama ini (Kompas, 13 Agustus 2005). Secara tegas Soedjatmoko (1976:15) menggariskan bahwa harus dibuang cara-cara mengajarkan sejarah yang mengutamakan fakta sejarah. Pandangan ini sangat penting diimplementasikan dalam pengajaran sejarah agar tidak terjadi apa yang dikhawatirkan oleh Winamo Surachmad (1978:9), yaitu siswa tidak berhasil tiba pada taraf kemampuan untuk melihat dan berpikir secara historis, tetapi pengetahuan sejarah mereka berhenti dan terbelenggu oleh sekumpulan data, fakta, dan nama-nama orang. Karena itu, pembelajaran sejarah tidak boleh berhenti pada tingkat fakta, tetapi harus sampai pada domain analisis. (3) terbuka dan dialogis; praktek pembelajaran sejarah yang tertutup dan monoton berpotensi membawa siswa dalam suasana kelas yang kaku, sehingga memunculkan sikap kurang antusias. Karena itu, guru sejarah wajib mendesain pembelajaran yang bersifat terbuka dan dialogis. Keterbukaan dan dialogis mengharuskan guru sejarah untuk tidak menganggap dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran di kelas, sebab paradigma teacher centered yang cenderung membuat suasana kelas menjadi tertutup dan tidak mampu menumbuhkan kreativitas siswa sudah harus ditinggalkan kemudian beralih ke student centered. (4) divergen; sejalan dengan pembelajaran sejarah yang menekankan pada analisis dan dialogis, penerapan prinsip divergen sangat penting agar pembelajaran sejarah terhindar dari kecenderungan yang hanya menyampaikan fakta sejarah. Pembelajaran sejarah bukan hanya 20 + 20 = 40, melainkan juga … (+, x, -, dan …= 40. Artinya, pembelajaran sejarah menghendaki pemecahan suatu masalah dengan memberi peluang kepada siswa untuk menganalisis dan melahirkan banyak gagasan. Dengan demikian tidak cukup sekadar guru menanyakan: “Siapa tokoh proklamator Indonesia?” melainkan harus dikembangkan menjadi: “Mengapa Soekarno – Hatta yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia?.” (5) progresif; pembelajaran sejarah perlu didasarkan pada prinsip progresif. perspektif baru pendidikan sejarah harus progresif dan berwawasan tegas ke masa depan. Apabila sejarah hendak berfungsi sebagai pendidikan, maka harus dapat memberikan solusi cerdas dan relevan dengan situasi sosial dewasa ini. Penekanan prinsip ini merupakan pengewejantahan mata pelajaran sejarah dengan watak tridimensional.

Selasa, 27 September 2011

Patron-Klien dalam Struktur Ekonomi Desa Tradisional

Patron-Klien dalam Struktur Ekonomi “Desa Tradisional”

A. Pendahuluan

Dalam sebuah “buku kecil” berjudul “The Interest of the Voiceless Far East: Introduction to Oriental Economics”, yang diterbitkan di Leiden pada tahun 1948—versi Indonesia tahun 1983, Boeke menyadarkan kepada kita bahwa dalam berbagai kajian tentang ekonomi, kedudukan, peran dan arti desa tradisional hampir-hampir terabaikan, kalaupun disinggung, sejauh desa tradisional itu mulai terlibat atau terkait dalam permasalahan perekonomian kota. Desa tradisional senantiasa hanya dijadikan “obyek” atau dalam posisi tersubordinasi oleh kota, padahal, menurut Boeke, bagi masyarakat negara berkembang (developing countries) yang berbasis pada sektor pertanian-agraris, desa tradisional memiliki kedudukan dan telah memainkan arti penting bagi masyarakatnya di dalam memenuhi berbagai kebutuhan ekonomis mereka, bahkan, meskipun pada medio abad 20-an gerakan ekonomi perkotaan telah mulai menembus tembok kehidupan ekonomi pedesaan, ternyata desa tradisional tetap mampu mempertahankan prinsip-prinsip, pandangan-pandangan “ekonomi pedesaan”-nya atas dasar kekuatan-kekuatan internal yang dimiliki, yaitu “ekonomi swasembada”, yang oleh Boeke diistilahkan sebagai “ekonomi prakapitalis” (pracapitalism economy). Atas dasar prinsip keswasembadaan ini pulalah, ketika berbagai krisis yang melanda berbagai sektor ekonomi perkotaan (produksi, perdagangan, perniagaan, dan lain-lain) ternyata kehidupan perekonomian di desa tradisional seakan tidak terpengaruh, dan tetap bergerak sesuai dinamikanya sendiri.

Menurut Boeke (1983), desa tradisional merupakan sebuah rumah tangga yang secara ekonomi “berdaulat”, “mandiri”. Desa tradisional juga merupakan sebuah “unit produksi” bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumtif kalangan kelas menengah dan atas (penguasa, bangsawan, pemilik tanah/modal, dll), sementara bagi kalangan bawah, hal itu tidak lain merupakan “kewajiban sosial dan ekonomis” mereka atas perlindungan dan pimpinan yang diberikan oleh kalangan menengah dan atas dan ini berarti pula sebagai bentuk pengabdian kepada penguasa alam yang Maha Kuasa.

Pendek kata, setiap aktivitas ekonomi mereka senantiasa ditundukkan pada dan dicampur dengan berbagai macam motif yaitu, motif sosial, keagamaan, etis dan tradisional. Dari sisi konsumsi, kehidupan ekonomi desa tradisional dibangun atas dasar “prinsip swasembada”, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup kesehariannya diproduksi/dipenuhi oleh desa tradisional sendiri. Kemampuan desa tradisional membangun struktur ekonomi demikian, karena didukung penuh oleh adanya ikatan-ikatan sosial yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan-kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian semata-mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu berorientasi kepada laba (non profit oriented). Landasan struktur ekonomi desa tradisional diletakkan pada prinsip” hemat, ingat, dan istirahat (Boeke, 1983: 22).

Kehidupan sosial masyarakat desa tradisional sulit diklasifikasikan menurut pekerjaan mereka (de Jong, 1989), tidak seperti struktur kehidupan sosial pada masyarakat perkotaan dalam klasifikasi yang jelas dan terstruktur. Masyarakat desa tradisional yang hidup di daerah-daerah pertanian pedalaman hidup dalam komunitas-komunitas yang cenderung bersikap “tertutup”, serta dengan semangat kelompok yang kuat, karena mereka menganggap bahwa eksistensi individu terletak di dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat. Oleh sebab itu kehidupan individu perlu diatur secara organis, tunduk serta menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakatnya, alam dan Sang Pencipta. Mereka emosional, dengan kemampuan intelektual yang “”kurang berkembang”, kurang disiplin dan kurang memiliki rasa ketepatan dan penghargaan terhadap waktu (Boeke, 1983).

Adanya pemikiran, sikap dan tindakan di atas, erat kaitannya dengan “sistem nilai budaya dan sikap” yang mereka anut dan patuhi serta sebagai “faktor-faktor mental” (Koentjaraningrat, 1985) yang mempengaruhi pemikiran, sikap dan tindakan mereka dalam kehidupan kesehariannya maupun dalam hal membuat keputusan-keputusan penting lainnya. Ia merupakan suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, sekaligus juga apa yang dianggap remeh dan tak berharga dalam kehidupan mereka. Realitas ini dapat dilihat dari bagaimana pemikiran, sikap dan tindakan mereka terhadap aktivitas ekonomi, kalaupun, sebagaimana dikatakan oleh Boeke di atas, masyarakat desa tradisional mampu membangun dan mengembangkan struktur ekonomi secara otonom dan swasembada, hal itu tidak lain karena didukung penuh oleh adanya ikatan-ikatan sosial dan budaya yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan-kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian yang semata-mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu didasarkan pada motif-motif murni ekonomi yang sangat berorientasi kepada pasar dan laba (non profit oriented). Sehubungan dengan hal itu maka pekerjaan tidak lain dipandang sebagai “sarana pengabdian” terhadap kewajiban-kewajiban moral, sosial, etika dan keagamaan; atau hanya sebatas sebagai upaya manusia untuk mempertahankan hidup. Dengan kata lain, setiap aktivitas ekonomi, apapun bentuk dan jenisnya, ia senantiasa dikuasai atau berada di dalam “konteks tradisi”.

Sebagai sebuah pengabdian dan alat untuk mempertahankan hidup, maka bagi masyarakat desa tradisional bekerja bukanlah suatu “kejahatan yang terpaksa dilakukan, karena itu sedapat mungkin dijauhi dan dibatasi” (Boeke, 1983). Bagi mereka, bekerja ataupun aktivitas ekonomi lainnya memang sebagai sesuatu yang harus diterima, tetapi ia harus dilakukan dengan sepenuh hati, bersungguh-sungguh, penuh kerja keras dan sedapat mungkin tanpa bantuan orang lain, sehingga bernilai tinggi di mata masyarakat. Bekerja keras adalah milik masyarakat desa tradisional, oleh karenanya tidak perlu “sistem perangsang” sebagaimana dikonsepsikan oleh Hoselitz; walaupun dengan cara dan irama kerja yang masih perlu didisiplinkan dan diselaraskan dengan perkembangan teknologi modern, sehingga dapat memberikan hasil yang seefektif mungkin (Koentjaraningrat, 1983; 1985).

B. Konsepsi Sistem Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan

Untuk menjaga kelangsungan hidup suatu masyarakat perlu adanya suatu tatanan sosial yang terus berlaku, baik dimasa sekarang maupun dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, sistem sosial yang ada perlu ditanamkan sejak dini dan disosialisasikan pada setiap anggota masyarakat. Dengan kata lain, setiap anggota masyarakat perlu mengamalkan dan melaksanakan tatanan sosial yang dimiliki. Proses sosial ini pada dasarnya bertujuan untuk mengintegrasikan sistem personal dan sistem kultural kedalam sistem sosial. Dengan demikian, akan terdapat komitmen dari para anggota masyarakat terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang ada sebagai tatanan hidup bermasyarakat, sehingga individu, kelompok, perkumpulan maupun komunitas yang ada di dalam masyarakat masih dapat memenuhi keinginan dasar dari individu-individu yang berinteraksi di dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat, kelompok perkumpulan dan komunitas yang masih dapat memenuhi kebutuhan dasar dari individu-individu dapat disebut sebagai sistem sosial ekonomi. Untuk Iebih mengetahui lebih jelas tentang sistem sosial ekonomi di masyarakat nelayan terlebih dahulu akan dibahas tentang pengertian sistem sosial ekonomi masyarakat nelayan yang meliputi pemukiman masyarakat nelayan, lapisan masyarakat nelayan, hubungan kerja pada masyarakat nelayan, sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang jelas tentang konsep sistem sosial ekonomi masyarakat nelayan.

B.1 Sistem Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan

Sosial ekonomi dalam masyarakat nelayan pada hakekatnya tercipta sebagai konsekuensi logis dalam pemenuhan kebutuhan pada dimensi material yang ada di dalam tiap-tiap individu, khususnya kebutuhan primer yang meliputi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Dalam memenuhi kebutuhan material, tiap-tiap individu berusaha mencapainya dengan cara yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada di masyarakat dan dapat memberikan manfaat yang baik bagi dirinya maupun kepada orang lain. Untuk mengetahui cara nelayan dalam mencapai dan meraih kebutuhan sosial dan ekonomi dapat dilihat dari hal-hal beikut ini:

B.1.1 Pola Pemukiman Masyarakat Nelayan

Pada hakekatnya manusia hidup membutuhkan bantuan dari manusia lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang akhirnya saling mempengaruhi satu sama lain. Hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya menyebabkan terjadinya aturan-atauran hidup kesusilaan, aturan-aturan hukum, kaidah-kaidah keagamaan, adat, bahasa yang semuanya saling mendukung menjadi satu kesatuan sosial. Proses ini dapat berjalan dengan serasi, dapat pula terjadi pertentangan, akan tetapi selama individu merasa memerlukan kelompoknya, ia bersedia untuk mengadakan beberapa komporomi terhadap sesamanya. Kelakuan-kelakuan dan perbuatan lahir yang terjadi pada manusia secara sadar dapat memberikan kesimpulan akan adanya masyarakat yang tercermin dari keadaan fisik lingkungannya. Dengan kondisi fisik lingkungannya dan memakai pakaian daerahnya, orang desa memperlihatkan adanya suatu masyarakat. Cara berbicara dan kelakuan-kelakuan yang setiap hari berulang-ulang terdengar dan terlihat, sehingga dapat dinyatakan adanya ikatan-ikatan yang menyatukan anggota keluarga menjadi suatu masyarakat. Begitu pula yang terjadi pada masyarakat nelayan etnis Bugis Perantauan yang ada di Kota Bandar Lampung, khususnya Kelurahan Kota Karang. Menurut Mattulada dalam buku Pola Pemukiman Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Bajou Daerah Sulawsi Selatan karya Muh. Yunus Hafid dkk (1996; 85), menjelaskan bahwa nelayan adalah mereka yang bermukim di wilayah pantai mengembangkan kemampuan mendapatkan makanannya di air. Mereka hidup dengan cara menangkap ikan di laut, mencari tiram disamping mengembangkan teknik-teknik peralatan pencaharian makanan, alat-alat penangkapan ikan maupun sistem peralatan transportasi lautan. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa masyarakat nelayan adalah komunitas yang menetap di daerah pesisir dengan mata pencaharian utamanya dari usaha menangkap ikan di laut atau di sungai.

Secara umum pemukiman masyarakat nelayan memiliki karakteristik tersendiri, yaitu suatu lingkungan yang begitu kumuh, terbuka dan syarat dengan nilai-nilai tradisi dari masyarakat setempat (nelayan), sehingga memberikan gambaran tentang keadaan sosial ekonomi nelayan yang tak terlepas dari tradisi lingkungannya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Suprijanto yang dikutip oleh Gatot Winoto (2006; 42) tentang keadaan sosial, ekonomi dan budaya dari daerah pesisir tempat berkembangnya pemukiman masyarakat nelayan dengan karakteristik:

1) memiliki keunggulan lokasi yang dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi.

2) penduduk mempunyai kegiatan sosial-ekonomi yang berorientasi ke air dan darat

3) rata-rata penduduk golongan ekonomi lemah, dengan latar belakang

pendidikan relatif terbatas.

4) pengetahuan akan lingkungan sehat cenderung masih kurang, terjadi

kebiasaan 'tidak sadar lingkungan' serta cenderung kurang memperhatikan

bahaya dan resiko.

5) terdapat peninggalan sejarah/budaya seperti museum bahari, dan sebagainya.

6) masyarakat yang secara tradisi terbiasa hidup (bahkan tidak dapat

dipisahkan) di atas air, seperti masyarakat Bajo. Terdapat pula budaya/tradisi pemanfaatan perairan sebagai sarana transportasi utama.

7) merupakan kawasan terbuka (akses langsung), sehingga rawan terhadap

keamanan, seperti penyelundupan, penyusupan (masalah pertahanan dan

keamanan) dan sebagainya.

Sedangkan hasil pengamatan sementara prapenelitian tanggal 12 Desember 2010, karakteristik perumahan dan pemukiman nelayan yang ada di Kota Bandar Lampung adalah:

1) kawasan pemukiman di atas air cenderung rapat (kepadatan bangunan tinggi dan jarak antar bangunan rapat) dan kumuh (tidak teratur, kotor, dll). Dominasi kawasan perumahan/pemukiman nelayan, yang umumnya kumuh dan belum tertata.

2) daerah atas air pada umumnya cenderung memiliki pola cluster, yang tidak teratur dan organik. Pada daerah-daerah yang telah ditata umumnya menggunakan pola linear sejajar garis badan perairan.

3) orientasi bangunan semula umumnya menghadap perairan sesuai orientasi kegiatan berbasis perairan. Perkembangan selanjutnya berorientasi kepada bangunan yang cenderung menghadap ke arah darat dan lebih mempertimbangkan aspek fungsional dan aksebelitas.

4) secara arsitektural, bangunan pada pemukiman nelayan dapat dibedakan atas:

a. bangunan di atas tanah;

b. bangunan panggung di darat;

c. bangunan panggung di atas air, dan

d. bangunan rakit di atas air (pernah ada dan saat ini sudah sangat jarang dijumpai).

5) tipologi bangunan menngunakan struktur dan konstruksi sederhana, tradisional dan kovensional yang kurang memperhitungkan pengaruh angin, ombak laut, gempa, dan lain-lain.

Berdasarkan pola pemukiman masyarakat nelayan yang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa laut yang merupakan sumber penghidupan utamanya mempengaruhi tata letak rumah/tempat tinggal nelayan. Rumah-rumah nelayan yang berjejer/memanjang selalu menghadap ke laut atau sungai yang melintas pemukiman nelayan merupakan ciri khas dari pemukiman masyarakat nelayan. Rumah-rumah nelayan pada umumnya tidak mempunyai perkarangan karena terletak di atas tanah yang selalu digenangi air sungai/laut ketika pasang. Secara umum kondisi sarana dan prasarana lingkungan di pemukiman masyarakat nelayan adalah:

1) sistem dan pola jaringan jalan di darat umumnya sudah terpola, memadai serta dapat melayani fungsi-fungsi yang ada. Hanya beberapa konstruksi jalan perlu disesuaikan dengan standar dan tingkat pelayanan yang harus disediakan. Jalan setapak dan beberapa jalan lingkungan umumnya berpola organik mengikuti pola perumahan. Sistem jaringan jalan di daerah pasang surut dan bertanah lunak umumnya menggunakan konstruksi batu atau konstruksi kayu, sedangkan jaringan jalan di atas sepenuhnya menggunakan konstruksi kayu dan dilalui oleh kendaraan roda dua saja.

2) sistem drainase memerlukan penanganan relative lebih rumit, karena merupakan daerah yang sering tergenang air/banjir dan menjadi muara daerah hulunya.

3) Pembuangan air limbah memerlukan penanganan khusus, karena muka air tanah yang tinggi serta menjadi muara daerah hulunya. Masyarakat cenderung membuang air limbah langsung ke badan air, baik dari kakus individu maupun MCK umum.

4) kebutuhan air bersih biasanya belum tercukupi, karena pada umumnya belum terjangkau jaringan air bersih dan kondisi air tanah yang dijadikan sumber air bersih kebanyakan payau, sehingga perlu penjernihan air.

5) umumnya sampah dibuang/ditimbun di pinggir sungai atau laut sehingga sering menimbulkan bau serta menjadi sarang lalat dan nyamuk.

B.1.2 Pola Hubungan Bertetangga pada Komunitas Nelayan Etnis Bugis

Kelurahan Kota Karang yang berada di wilayah Kota Bandar Lampung terdiri atas 3 lingkungan atau kampung, sedangkan setiap rukun kampung terdiri pula atas beberapa rukun tetangga yang merupakan unit terkecil dalam wilayah Kelurahan Kota Karang. Rukun tetangga ini terdiri atas sejumlah rumah tangga yang menempati suatu wilayah pemukiman dan dipimpin oleh seorang ketua RT. Lingkungan pemukiman nelayan etnis Bugis Kelurahan Kota Karang, jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sangat berdekatan atau berada dalam satu wilayah. Sehingga interaksi antara anggota rumah tangga dengan anggota rumah tangga yang lain sangat sering terjadi, akibatnya hubungan antara sesama anggota keluarga nelayan semakin akrab. Dengan tetanggalah mereka dapat saling membantu, saling tolong-menolong, baik dalam keadaan suka maupun dalam keadaan duka. Bila suatu anggota keluarga tertimpa suatu musibah, maka yang paling cepat memberikan bantuannya adalah tetangga terdekatnya. Hubungan pertetanggaan di dalam masyarakat nelayan etnis Bugis dijalin dan diperakrab dengan adanya saling kunjung mengunjungi dan saling memberi, baik dari segi materi maupun nonmateri, seperti di waktu terang bulan, biasanya nelayan yang memperbaiki jaring dibantu oleh tetangganya dan jika ada hajatan dilakukan secara bersama-sama, terutama ibu-ibu dan anak perempuan yang menyiapkan makanan, peralatan dan lain-lain. Disamping saling memberi atau membantu yang sifatnya non materi, mereka juga dapat saling pinjam meminjam, baik berupa barang, seperti peralatan upacara perkawinan maupun dalam segi keuangan.

Demikianlah hubungan antar tetangga di dalam masyarakat nelayan etnis Bugis yang ada di Kelurahan Kota Karang. Dengan tetanggalah mereka dapat saling menghidupkan, bila suatu keluarga tertimpa musibah, maka tetangganya yang paling cepat memberikan bantuan. Hal yang demikian dapat dilihat, karena mereka hidup didasarkan pada keyakinan mereka sebagai orang Islam, sehingga tolong-menolong, saling bantu membantu antara sesamanya terutama tetangga merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat nelayan etnis Bugis. Kehidupan masyarakat nelayan etnis Bugis selalu menitikberatkan akan kebersamaan yang baik, terutama saling tolong-menolong sesama anggota masyarakat yang beretnis Bugis. Hal in disebabkan adanya persamaan sin ma siri dan sempugi (solidaritas etnis Bugis di tanah rantau) di dalam diri orang etnis Bugis. Selain itu, Depdikbud (1990; 52) juga memberi penjelasan bahwa tradisi etnis Bugis yang mendasari seorang Bugis harus membantu orang atau tetangganya yang dekat, terutama sesama etnis Bugis. Sebagaimana ungkapan yang berbunyi “manna bija punna bella tumaraengji ri katte” artinya walaupun keluarga, tetapi jauh dari kita dia adalah orang lain bagi kita.

B.1.3 Pelapisan Sosial Masyarakat Nelayan

Penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan menurut Kusnadi (2002; 1-3), pada dasarnya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jarring dan perlengkapan yang lain), sehingga struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, sehingga struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan, disebut sebagai nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, sehingga masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional.

Sementara itu, Wahyuningsih (1997 dalam Laila Fitriyah, 2006; 21) menjelaskan bahwa lapisan masyarakat nelayan yang didasarkan pada pemilikan modal terdiri dari:

1) Nelayan juragan. Nelayan ini merupakan nelayan pemilik perahu dan alat penangkap ikan yang mampu mengubah para nelayan sebagai pembantu dalam usahanya menangkap ikan di laut. Nelayan ini mempunyai tanah yang digarap pada waktu musim paceklik. Nelayan juragan ada tiga macam, yaitu nelayan juragan laut, nelayan juragan darat yang mengendalikan usahanya dari daratan, dan orang yang memiliki perahu, alat penangkap ikan dan uang tetapi bukan nelayan asli, yang disebut dengan tauke (toke) atau cakong.

2) Nelayan pekerja, yaitu nelayan yang tidak memiliki alat produksi dan modal, tetapi memiliki tenaga yang dijual kepada nelayan juragan untuk membantu menjalankan usaha penangkapan ikan di laut. Nelayan ini disebut juga nelayan penggarap atau sawi (awak perahu nelayan). Hubungan kerja antara nelayan ini berlaku perjanjian tidak tertulis yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu. Juragan dalam hal ini berkewajiban menyediakan bahan makanan dan bahan bakar untuk keperluan operasi penangkapan ikan, dan bahan makanan untuk dapur keluarga yang ditinggalkan selama berlayar. Hasil tangkapan di laut dibagi menurut perarturan tertentu yang berbeda-beda antara juragan yang satu dengan juragan yang lainnya, setelah dikurangi semua biaya operasi.

3) Nelayan pemilik merupakan nelayan yang kurang mampu. Nelayan ini hanya mempunyai perahu kecil untuk keperluan dirinya sendiri dan alat tangkap ikan sederhana, karena itu disebut juga nelayan perorangan atau nelayan miskin. Nelayan ini tidak memiliki tanah untuk digarap pada waktu musim paceklik (angin Barat). Nelayan ini sebagian besar tidak mempunyai modal kerja sendiri, tetapi meminjam dari pemilik modal/orang lain dengan perjanjian tertentu. Nelayan yang umumnya memulai usahanya dari bawah, semakin lama meningkat menjadi nelayan juragan.

Jadi, susunan masyarakat nelayan pada umumnya, baik secara horizontal maupun vertikal sangat dipengaruhi oleh organisasi penangkapan ikan dan tingkat pendapatan yang dicapai. Posisi nelayan yang strategis dalam organisasi kerja nelayan dan semakin besar pendapatan, maka semakin besar pula kemungkinan menempati posisi yang tinggi dalam stratifikasi sosial. Pendapatan kecil dan semakin tidak strategis peranan nelayan dalam organisasi penangkapan ikan, maka semakin rendah pula posisi yang ditempati nelayan tersebut dalam masyarakat. Lapisan masyarakat nelayan berdasarkan uraian di atas akan berbeda dengan lapisan masyarakat nelayan Kota Bandar Lampung, khususnya di Kelurahan Kota Karang, dari hasil pengamatan prapenelitian diketahui bahwa di masyarakat nelayan etnis Bugis Perantauan yang ada di Bandar Lampung terdiri dari tiga, jika dilihat dari sudut masa mukim (lama tinggal) dan pemilikan modal, yaitu:

1) Sesepuh kampung sebagai lapisan atas

Sesepuh kampung pada masyarakat etnis Bugis yang ada di Bandar Lampung, khususnya Kelurahan Kota Karang merupakan orang pertama-tama membuka daerah perkampungan etnis Bugis di Wilayah Kelurahan Kota Karang. Dengan pengalaman, keahlian dan masa menetap yang lama di kampung, ia mampu mengetahui keadaan dan kondisi kampung, karakter warga kampung dan aturan yang ada di kampungnya, sehingga secara tidak langsung warga masyarakat memberikan penghargaan terhadap orang tersebut (sesepuh) tidak hanya sebagai tempat konsultasi bagi warganya, tetapi juga diangkat sebagai kepala kampung atau ketua lingkungan untuk mengatur anggota masyarakatnya dalam kehidupan bermasyarakat. Sesepuh kampung pada masyarakat etnis Bugis di wilayah Kelurahan Kota Karang yang dipercayakan warganya untuk menjadi kepala kampung atau lingkungan tidak hanya diukur oleh masa dia menetap di kampung, tetapi juga diukur dari kekayaan, kepandaian dan keberanian, sehingga sesepuh kampung mampu memberikan mamfaat yang baik kepada masyarakat, baik dibidang spritual, ekonomi, sosial, budaya dan pemerintahan. Namun, apabila sesepuh kampung ada yang berasal dari keturunan bangsawan, maka masyarakat etnis Bugis yang ada di wilayah Kelurahan Kota Karang memberikan kepercayaan kepada sesépuh kampung yang berasal dari keturunan bangsawan untuk meinimpin warganya. Walaupun gelar atau darah bangsawan itu diperoleh karena menikahi gadis yang masih memiliki darah keterunan dari keluarga bangsawan atau kerajaan. Sebagai mana hasil penelitian Bambang Suwondo tentang Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sulawesi Selatan, yang menyatakan: … untuk diangkat jadi pimpinan (datu/raja ) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut; a. turunan bangsawan (anak matoa), b. pintar (to macco), c. berani (to warani), d. kaya (to sugi). Oleh karena itu, kepala kampung atau lingkungan pada etnis Bugis yang ada di wilayah Kelurahan Kota Karang berasal dari sesepuh kampung yang masih memiliki keterkaitan atau keturunan dari bangsawan, walaupun di kampung etnis Bugis di wilayah Kelurahan Kota Karang ada beberapa orang yang dianggap sebagai sesepuh kampung. Namun, tidak semua kepala kampung pada masyarakat etnis Bugis yang ada di wilayah Kelurahan Kota Karang berasal dan orang yang mempunyai darah keterunan bangsawan atau kerajaan.

2) Punggawa sebagai lapisan kedua

Punggawa pada masyarakat nelayan etnis Bugis di wilayah Kelurahan Kota Karang merupakan orang-orang yang memiliki modal dan mampu untuk memberikan pekerjaan pada orang lain. Dengan modal yang dimiliki seorang punggawa mampu memanfaatkan anggota masyarakat yang tidak bekerja untuk bekerja di bidang usaha yang dilakukannya. punggawalah yang memiliki perangkat alat penangkapan ikan yang digunakan oleh pengikutnya untuk tujuan produksi, sehingga punggawa dan pengikutnya (sawi) mendapatkan hasil, yakni berupa uang guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik punggawa maupun pengikutnya (sawi). Di masyarakat nelayan Bagang etnis Bugis di wilayah Kelurahan Kota Karang, seorang punggawa menanggung biaya yang digunakan oleh sawinya dalam pelaksanaan penangkapan ikan sampai penjualan atau dalam pelaksanaan proses produksi, baik yang menyangkut dengan alat tangkap maupun kebutuhan sawi yang sedang bekerja. Sebab punggawa adalah orang yang memiliki modal, sehingga dana yang dimiliki itu digunakan untuk melakukan usaha penangkapan ikan atau pelaksanaan proses produksi yang dapat memberikan keuntungan bagi dirinya maupun orang lain, baik dari kelengkapan alat penangkapan ikan sampai bekal untuk tenaga kerjanya, walaupun sekarang banyak ditemukan sawi yang membawa bekal dari rumahnya masing-masing dan kadang-kadang sawi mengutang minyak diluar tanggungan punggawanya. Sedangkan, kebutuhan keluarga sawi selama berlangsungnya operasi tidak menjadi tanggungan punggawa, tetapi apabila dari pihak keluarga sawi mernbutuhkan uang untuk keadaan yang terdesak, maka seorang punggawa berkewajiban memberikan pinjaman kepada keluarga sawi.

Punggawa yang ada di wilayah Kelurahan Kota Karang tidak hanya menyediakan alat tangkap dan kebutuhan sawi selama berlangsungnya proses produksi, tetapi juga memberikan bimbingan, arahan kepada sawi tentang usaha-usaha kenelayanan, baik tentang proses produksi hingga perawatan alat produksi maupun tentang keadaan alam di lautan, sehingga memberikan gambaran yang baik tentang kenelayanan. Akibatnya sawi dapat mengoptimalkan kemampuannya untuk menghasilkan hasil yang baik dalam operasinya atau pelaksanaan proses produksi. Selain itu juga, punggawa memberikan bantuan berupa moril kepada sawinya, misalnya memberikan arahan dan bimbingan tentang hubungan yang baik di masyarakat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau menyimpang dari norma-norma masyarakat atau memberikan nasehat dalam memilih calon isteri yang baik dan pertimbangan dalam memilih waktu yang baik bagi pelaksanaan pernikahan. Kadang-kadang seorang sawi meminta nasehat tentang cara penyelesaian yang baik dalam mengatasi masalah keluarga kepada punggawa. Oleh karena itu, seorang punggawa di mata masyarakat nelayan merupakan orang yang baik dan dapat diandalkan untuk membangun masyarakat. Dengan demikian, punggawa di mata masyarakat tidak hanya dipandang dari ukuran kekayaan, tetapi juga besarnya mamfaat yang diberikan punggawa kepada masyarakat sehingga secara tidak langsung menempatkan punggawa pada lapisan elite di dalam masyarakat nelayan.

3) Sawi sebagal lapisan bawah

Di wilayah Kelurahan Kota Karang, sawi yang bekerja di Bagang melalui punggawa terdiri dari sawi yang membawa motoro, sawi yang menunggu di Bagang dan sawi yang membawa Stempele. Dalam fungsinya, sawi hanya sebagai pembantu punggawa dalam menangani kegiatan produksi, yakni penangkapan ikan, penjualan ikan dan perawatan alat tangkap (Bagang dan Kapal). Oleh karena itu, sawi yang ada di wilayah Kelurahan Kota Karang merupakan golongan terbanyak dalam populasi masyarakat nelayan. Mereka bekerja hanya semata-mata mengandalkan tenaga, walaupun ada ukuran tertentu yang dapat membantu orang bekerja pada seorang punggawa, seperti pengalaman dalam bidang kenelayanan, jujur dan dapat dipercaya, pekerja keras dan rajin. Mereka juga merupakan pekerja lepas dan berhak mengikuti atau memilih Bagang yang disenangi, sehingga hubungannya dengan punggawa sewaktu-waktu dapat terputus, bila punggawa memperlakukan sawinya dengan tidak baik. Tetapi, ada juga sawi yang bekerja kepada punggawa dengan status sebagai pekerja tetap. Dalam hal ini seorang sawi bukan hanya bekerja kepada pemilik (punggawa), tetapi juga telah menjadi bagian dari keluarga punggawa, sehingga keperluan konsumsi sawi sehari-hari, bahkan keperluan khusus tertentu menjadi tanggungan punggawa.

B.1.4 Pola Hubungan Kegiatan Kerja Nelayan

Tiap masyarakat manusia merniliki sistem ekonomi atau sistem mata pencaharian hidup yang spesifik, sesuai dengan spesifikkasi kebudayaan dan keadaan potensi sumber daya yang tersedia pada alam sekelilingnya. Dimana masyarakat itu sendiri bertempat tinggal, sekaligus menata dasar-dasar kehidupan mereka sebagai suatu kesatuan sosial ekonomi kultural. Dalam hal ini tiap-tiap keadaan alam sekeliling yang mempunyai coraknya sendiri-sendiri, sedikit banyak memaksa orang-orang yang hidup tertentu pula sesuai dengan karakterisktik kitaran alamnya. Bertolak dari pandangan di atas, maka akan diuraikan pola pekerjaan yang dilakukan masyarakat nelayan. Di dunia kenelayanan telah dikenal adanya empat macam musim, yaitu musim Barat (September-Desember), musim Utara (Desember-Maret), musim Timur (Maret-Juni), dan musim Selatan (Juni-September). Musim Barat dikenal sebagai musim paceklik, yang biasanya ombak terlalu besar sehingga nelayan tidak dapat melaut, walaupun ada nelayan yang nekat turun melaut tetapi tidak jauh dari pemukiman nelayan ± 3-5 mil. Sebagaimana Muh. Yunus Hafid, dkk (1996; 82) menjelaskan tentang pengetahuan ombak yang dimiliki nelayan sebagai berikut;

  1. gayo salatang, ombak yang datangnya sekitar bulan Juni sampai dengan Oktober.
  2. gayo tino, ombak yang datangnya sekitar bulan Juni sampai dengan Desember.
  3. gayo Utara, ombak yang datangnya pada sekitar bulan November sampai dengan Desember.
  4. gayo bare, ombak yang datangnya pada sekitar bulan Desember sampai bulan April
  5. gayo kapuake (pancaroba), ombak yang datangnya pada sekitar bulan Oktober sampai dengan Desember. Gayo kapuake ini disebut gayo tenggarae. Pada gayo kapuake ini disertai dengan sisiapu (Bugis:Laso anging) yang ditandai dengan awan hitam yang berputar, bentuknya kadang-kadang vertical dan kadang-kadang horizontal. Angin ini sangat ditakuti oleh para pelaut/nelayan, karena demikian dahsyatnya sehingga apa saja yang dilaluinya dapat diangkat ke udara kemudian dihempaskan kembali ke permukaan laut.

Pada musim paceklik nelayan yang memilki modal, biasanya mengurusi lahan/kebun, warung/toko yang dimilikinya, tetapi bagi nelayan yang tidak memilki modal, biasanya ia mengurusi alat-alat produksi tangkap, seperti mengecat kembali kapal/perahu, jaring, dan lain-lain. Selain mengurusi alat-alat produksi, ia ikut juragannya (nelayan pemilik modal) untuk bantu-bantu mengurusi lahan/kebun, warung/toko atau hal-hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan pokoknya. Oleh karena itu, hubungan kerja yang terjadi pada masyarakat nelayan terkait dengan karakteristik lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun budaya nelayan tersebut. Jalinan sosial antar nelayan membentuk pola hubungan yang dapat dijabarkan secara horizontal dan vertical. Hubungan sesama kerabat, saudara sedarah, dan bentuk-bentuk kekerabatan merupakan contoh pola horizontal. Pola tersebut menggambarkan bahwa individu-individu akan lebih kuat berinteraksi jika antara satu dengan yang lain tidak mengalami kesenjangan sosial ekonomi yang terlalu lebar. Interaksi nelayan membentuk pola hubungan patron-klien yang umumnya terjadi antara nelayan kaya (juragan) dan tengkulak dengan nelayan miskin (buruh). Pola vertikal terbentuk karena ada ketergantungan ekonomi antara buruh dan juragan maupun tengkulak. Pola ini terjadi di masyarakat nelayan karena perilaku nelayan yang cenderung kurang dapat mengembangkan modal yang diperoleh untuk kegiatan produksi secara maksimal, sehingga kredit dan berbagai fasilitas yang diberikan oleh para juragan atau tengkulak kepada para nelayan habis hanya untuk memenuhi kebutuhan yang tidak perlu, akibatnya nelayan terus bergantung kepada pihak yang mengeksploitasinya. Pola hubungan kerja di antara nelayan pada unit alat tangkap akan menemukan pola sebagai berikut:

B.1.4.1 Kerjasama antara nelayan buruh (sawi) dengan nelayan buruh

Pekerjaan dalam pengolaan sumber daya laut, baik proses penangkapan ikan, penjualan hasil tangkapan maupun proses perawatan perahu yang merupakan pekerjaan yang membutuhkan kerjasama di antara nelayan, terutama nelayan buruh (sawi). Oleh karena itu, nelayan buruh yang terlibat dalam usaha penangkapan ikan, seperti nelayan buruh perahu kecil (sawi stemple) yang mengantarkan nelayan buruh yang lainnya, termasuk kapten kapal (sawi motoro) harus melaksanakan tugasnya sesuai dengan peranannya masing-masing. Sebagaimana hasil pengamatan sementara prapenelitian tanggal 18 Desember 2010 memberi keterangan bahwa proses penangkapan ikan dimulai pukul 13.30 WIB, diawali dengan berkumpulnya para sawi di suatu tempat yang telah di sepakati atau ditentukan, yakni di dermaga Cungkeng, dimana sawi stempele sudah menunggu sawi motoro dan sawi Bagang dengan perahu kecilnya (stempele). Setelah sawi sudah berkumpul, maka sawi stempele mengantar para sawi ke dermaga, yakni di bagian Barat Pulau Pasaran tempat bersandarnya kapal motoro nelayan Bagang. Setelah sampai di dermaga, maka tanggung jawab beralih kepada sawi motoro, yakni mengantarkan sawi Bagang ke tempatnya masing-masing, yakni ke tempat Bagang yang berada di lautan (di perairan kabupaten Lampug Selatan). Sementara itu, sawi Stempele kembali ke daratan, karena tanggung jawabnya sudah selesai dikerjakan dan mulai kembali kerja pada pukul 06.00 sampai 09.00 WIB pada ke esokan harinya, yakni menjemput sawi motoro (kuncak dan palime-lime) dan sawi Bagang yang telah menunggu di dermaga untuk pulang ke daratan.

Sementara itu, kuncak dan palime-lime (sawi kapal motoro) yang telah mengantar sawi Bagang Ke Bagangnya masing-masing harus berjaga-jaga di tengah lautan atau mengawasi gerak dari Bagang yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini dilakukan oleh sawi kapal motoro agar sawi Bagang yang ingin pindah lokasi dapat terdekteksi dengan baik, sehingga sawi yang berada di motoro segera menghampiri atau mendatangi sawi Bagang yang membutuhkan bantuannya untuk pindah lokasi. Sebagaimana salah satu informan yang bernama Chotang (28) memberikan keterangan sebagai benikut:

ada beberapa jenis Bagang yang terdapat dalam masyarakat nelayan Bugis di Cungkeng ini, tapi kebanyakan nelayan mengembangkan Bagang Jerigen dan Kambang yang operasional hanya di wilayah pantai; tidak jauh-jauh dari pantai Teluk Lampung; beda dengan Bagang Congkel dan Badak yang operasionalnya sampai laut lepas.. Bagang Jerigen dan Kambang itu kan mengapung (Bagang tidak bisa ke mana-mana atau mengapung di tempatnya karena jangkar yang dilepas ke dalam laut). Jadi, jika kita mendengar informasi bahwa di sana atau daerah lain banyak ikan dibanding tempat Bagang berada atau sepi ikannya, maka sawi tersebut menaikan lampu Petromak ke bagian atas Bagang sebagai tanda memanggil kuncak dan palime-lime (kapal motoro). Setelah kuncak sampai di tempat Bagang, sawi tinggal ngomong bahwa ia ingin pindah ke daerah itu (daerah yang diinginkan). Setelah itu, palime-lime membantu sawi mengangakat tambang jangkar ke kapal motoro dan mengangkat jangkar yang satunya. Setelah siap baru kapal motoro membawa Bagang ke tempat daerah yang diinginkan”. (Wawancara prapenelitian, 18 Desember 2010)

Selain memindahkan Bagang ke tempat yang diinginkan sawi Bagang, sawi kapal motoro juga bertugas untuk menampung hasil tangkapan (ikan) sawi Bagang yang jadi tanggung jawabnya dan menjualnya hasil tangkapan (ikan) tersebut kepada para pembeli yang lengsung menghampirinya atau menjual ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Sebagaimana salah satu informan yang bernama Piru (41) memberi keterangan sebagai berikut:

“Kuncak adalah nahkoda kapal motor, tugasnya adalah mengantar sawi ke Bagangnya masing-msing dan membantu sawi yang bekerja di Bagang, inisalnya Bagang yang dioperasikan oleh sawi mendapatkan hasil banyak, maka sawi tersebut memberikan tanda kepada kuncak agar datang ke tempatnya dengan menaikan lampu petromak ke atas Bagang. Hal ini bertujuan untuk memindahkan hasil tangkapan dari Bagang ke kapal Motoro (mengurangi muatan Bagang) agar ke esokan harinya (waktu subuh) tidak terlalu repot-repot lagi, sehingga bisa dibawa langsung ke pelelangan atau pembeli yang menghampiri (palele)”. (Wawancara prapenelitian, 18 Desember 2010).

Setelah hasil tangkapan (ikan) dijual dengan disaksikan para sawi, baik sawi Bagang maupun sawi Motoro, maka dari masing-masing sawi Bagang memberikan upah kepada sawi motoro 30% dari hasil penjualan. Dengan perincian, 25% untuk Kuncak (nahkoda kapal motor) dan 5% untuk palime-palime (anak buah kapal motor). Kemudian para sawi, baik sawi Bagang maupun sawi motoro menghitung hasil dan penjualan ikan yang telah dipotong 30% untuk disetorkan ke punggawa yang terlebih dahulu dipotong biaya operasi, seperti biaya perawatan alat tangkap, biaya minyak dan biaya bekal. Kemudian, para sawi kembali ke dermaga yang biasa digunakan untuk bersandar. Sambil menunggu jemputan sawi stempele, maka para sawi Bagang maupun sawi motoro beristirahat di warung yang berada dekat bersandarnya kapal motoro sambil makan pagi, seperti nasi uduk atau para sawi menyelesaikan urusannya, yakni membayar hutang dari bekal dan minyak yang dipakai. Jika ada alat-alat yang rusak, maka para sawi segera menggantinya dengan yang baru agar dalam operasi selanjutnya tidak repot-repot lagi. Ketika, sawi stempele datang mereka sudah siap untuk pulang, tetapi apabila ada sawi yang belum selesai urusannya, maka ditunggu sampai selesai urusannya dan para sawi sudah berkumpul bersama untuk pulang ke daratan.

B.1.4.2 Kerjasama antara sawi dengan punggawa

Pada uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa dalam proses penengkapan ikan di laut sampai proses penjualan diserahkan sepenuhnya dari punggawa kepada sawinya. Sedangkan punggawa hanya menunggu setoran dari sawinya, bila sawinya memperoleh hasil, baik sedikit maupun banyak. Dengan diserahkan sepenuhnya kepada sawi dalam proses penangkapan ikan sampai penjualan, maka punggawa sebagai pemilik modal membuat aturan baru atau menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada dan berlaku pada masyarakat, seperti Sawi Motoro harus memberi tahukan kepada punggawanya tentang operasi penangkapan ikan sampai penjualan ikan oleh sawinya semalam atau punggawa menanyakan langsung kepada sawi-sawi lain yang kerjanya atau operasinya bersamaan dengan sawinya atau pun menggunakan kebiasaan yang sering digunakan para punggawa untuk mencari informasi tentang kenelayanan, yakni perbincangan sesama punggawa di tempat pos ronda atau gardu-gardu pada waktu sore atau menanti di dermaga (pinggiran pantai) sambil mencari informasi tentang aktivitas anak buahnya dalam proses penagkapan ikan dan penjualan hasil tangkapan yang dilakukan oleh sawinya kepada nelayan yang lain, sehingga punggawa dapat mengetahui tentang operasi semalam yang dilakukan oleh sawinya. Sebagaimana Muh. Yunus Hafid, dkk (1996; 100), menjelaskan tentang salah satu peran punggawa, sebagai berikut; mreka menjelajahi berbagai gugusan karang yang tersebar mulai dari kawasan perairan Bajou sampai ke perbatasan pulau-pulau Sembilan kabupaten Sinjai. Setelah hasil tangkapan ikan dianggap memadai atau perbekalan bahan makanan sudah habis di atas perahu, kelompok pengail itupun kembali ke perkampungan (Dusun Bajo) di mana punggawa Jamuddin biasanya sudah menanti di pantai. Hal ini dilakukan para punggawa agar terhindar dari kerugian usaha yang dilakukannya. Kedua, untuk mengetahui kejujuran, ketekunan dan kerajinan sawi yang bekerja kepadanya. Implementasi nilai-nilai kecakapan hidup yang dimiliki oleh punggawa ke dalam aturan kerja dan tata kelakuan dalam hubungan sosial masyarakat nelayan memberikan manfaat bagi mereka yang terlibat, terutama para punggawa. Dengan pola tersebut, informasi tentang aktivitas sawinya (anak buahnya) dalam proses penangkapan ikan di lautan dan penjualan hasil tangkapan dapat dipantau dan diketahui dengan baik oleh punggawa. Hal ini sesuai dengan penjelasan Muh. Yunus Hafid, dkk tentang peran punggawa dalam proses produksi, sebagai berikut;

manakala hasil tangkapan sudah banyak atau bahan perbekalan sudah habis dimakan selama melaut, nelayan nongkeng bersama anggota kelompoknya segara kembali ke Bajoe. Sementara itu pihak punggawa yang memang jarang ikut melaut, biasanya sudah menunggu di pinggir pantai. Setelah perahu merapat ke pantai punggawa mengambil alih penanganan penjualan hasil tangkapan ikan kepada peminat, biasanya kepada para pappalele atau kepada pedagang besar. (Muh. Yunus Hafid, dkk, 1996; 93).

Berdasarkan keterangan yang diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa aturan yang dibuat punggawanya dengan sawinya atau kebiasan-kebiasaan yang terdapat di masyarakat dan masih dipedomi dalam proses penangkapan ikan, penjualan hasil tangkapan ikan sampai penyerahan hasil kerja sawi kepada punggawa merupakan proses sosial yang harus diterima bagi anggota masyarakat yang terlibat dalam sistem tersebut. Jika, terjadi pelanggaran dan penyimpangan dari aturan-aturan yang telah disepakati oleh para nelayan, baik nelayan sawi maupun nelayan punggawa tidak lagi terkendali, maka akan terjadi pemutusan kerja dalam usaha Bagang yang merupakan salah satu bagian dari sistem sosial ekonomi punggawa dan sawi , terutama bagi nelayan sawi. Akibatnya nama baik diantara pelaku, yakni punggawa dan sawi akan tercemar di mata masyarakat, terutama di pandangan masing-masing pelaku sistem. Bila diantara nelayan berbuat tidak baik dalam melakukan hubungan tersebut, seperti berbuat kecurangan dalam pembagian hasil atau tidak jujur dalam penyetoran hasil pendapatan oleh sawi kepada punggawanya. Sementara itu, kerjasama yang terjadi diantara sawi dan punggawa tidak terbatas pada pemberian informasi tentang sawinya yang turun ke laut (dapat atau tidaknya), tetapi juga pada pengumpulan uang (hasil) yang diperoleh sawinya oleh punggawanya. Sebagaimana keterangan yang diperoleh dari wawancara tanggal 19 Desember 2010 pada salah satu informan yang bernama Sentot Ismanto (40), sebagai berikut: “dalam pembagian ini, punggawa tidak boleh mengambil uang yang dikumpulkan sawi (disetorkan sawi kepada punggawa) sampai waktu yang ditentukan, yakni terang bulan (bagi hasil)”. Dalam hal ini punggawa harus benar-benar menjaganya, sehingga pada waktu yang telah ditentukan tiba, yakni waktu pembagian hasil. Jika di dalam pembagian hasil sesuai dengan hasil yang diperoleh sawi atau sesuai dengan hitungan kedua belah pihak dari awal hingga waktu pembagian, maka sawi akan selalu bekerja dengan punggawanya dengan baik, tetapi bila tidak sesuai dengan hitungan kedua belah pihak atau punggawa tidak adil, maka sawi akan berhenti bekerja atau meninggalkan punggawanya. Sebagaimana salah satu informan yang bernama Jamal (38) memberi keterangan sebagai berikut:

“Sering terjadi pindah punggawa yang dilakukan sawi dikarenakan pembagian hasil yang tidak jujur, inisalnya Sawi seharusnya mendapatkan Rp.500.000,- dalam pembagiannya, tetapi hanya menerima Rp.400.000,-, karena alasan untuk biaya operasional tambahan (yang tidak masuk akal), maka Sawi tidak puas dengan pembagian tersebut. Kemudian untuk pindah punggawa, terlebih dahulu Sawi membicarakan dengan punggawanya secara baik-baik dan menyerahkan sangke dan rantang yang telah diberikan Punggawa sebagai wadah bekal ke laut”. (Wawancara pra penelitian, 19 Desember 2010).

B.1.4.3 Kerjasama antara punggawa dengan punggawa

Di dalam masyarakat nelayan etnis Bugis, terdapat adanya kerjasama diantara punggawa dalam menjaga eksistensi usaha Bagang agar usaha yang dilakukan oleh seorang punggawa dapat terkontrol dan berjalan dengan baik, sehingga hasil dari usahanya dapat memberikan mamfaat bagi kehidupan keluarga nelayan punggawa maupun pada kehidupan nelayan yang ada di sekitar lingkungan masyarakatnya. Kerjasama yang dilakukan para punggawa berupa penyampaian informasi tentang kenelayanan dan kehidupan masyarakat kepada punggawa, keluarga punggawa maupun masyarakat luas. Penyampaian informasi yang dilakukan oleh para punggawa biasanya dilakukan pada saat punggawa berkumpul di gardu-gardu atau pos ronda maupun di salah satu rumah punggawa dengan suasana santai (obrolan santai). Sebagaimana salah satu informan yang bernama Abu Bakar (63) memberikan keterangan sebagai berikut:

“Jika terang bulan apa yang dilakukan oleh bapak? kalau ada kerusakan kita perbaiki bersama. Jika tidak ada kita jalan-jalan atau silahturrahimi kerumah anak buah atau juragan lain, ngobrol-ngobrol. Apa yang sering diobrolkan oleh juragan-juragan jika berkumpul/yang sering dibicarakan adalah masalah pekerjaan atau masalah anak buah sering dibicarakan, misalnya anak buah saya, ada yang mengatakan anak buahnya malas dan anak buahnya rajin. Yang tentunya kalau anak buah cukup saya gaji, walaupun apa adanya. Kalau anak buah saya tinggal kerjanya, saya kasih sesuai dengan kerjanya. Saya sering panggil anak buah saya, apabila tidak kerja dan saya tanyai “kenapa tidak kerja ?“. Ya.... tergantung manusianya...! kan ada yang pengertian dan tidak pengertian”. (Wawancara prapenelitian, 23 Desember 2010).

Berdasarkan uraian di atas, dapat diperoleh suatu gambaran bahwa punggawa yang menerima informasi tentang sawinya, tidak langsung menerima berita atau informasi tersebut dengan melakukan tindakan, tetapi dilihat terlebih dahulu cara kerjanya sawi dengan turun ke laut pada waktu-waktu tertentu dan mencari informasi tentang sawi dengan menanyakan pada teman sekerjanya. Jika terbukti malakukan hal-hal yang tidak baik, seperti tidur disaat kerja, tidak jujur dalam memberikan setoran hasil kerjanya kepada punggawa, maka punggawa memecat atau memberhentikan sawinya dari pekerjaan. Bila ada sawi yang dipecat oleh punggawanya karena perbuatan buruknya, maka punggawa yang lain akan menolak sawi yang dipecat, walaupun pada saat ini masih ada punggawa yang menerima sawi tersebut menjadi anak buahnya. Tetapi, rata-rata sawi tersebut mencari pekerjaan pada punggawa nelayan non Bagang atau lebih cenderung menjadi sawi nelayan Kapal Trowl. Sawi yang diberhentikan dan pekerjaannya, karena perbuatan buruknya diterima oleh punggawa lain, jika sawi tersebut bertekad untuk merubah prilakunya atau sifatnya dan tidak ingin mengulanginya kembali. Bila hal itu disanggupi oleh sawi, maka punggawa menerimanya dengan berhati-hati. Biasanya punggawa akan sering mengawasi sawinya dikala bekerja dan membimbingnya serta mengarahkan sawinya ke hal-hal yang positif, baik dalam melakukan pekerjaan maupun bergaul di masyarakat. Sebagaimana salah satu informan yang bernama Amir (38) memberikan keterangan sebagai berikut:

“Rata-rata punggawa tahu dari hasil pendapatan sawinya. Namun, pura-pura tidak tahu, sampai Sawinya melaporkan hasil penangkapannya ke punggawa. Jika ketahuan berbohong, maka punggawa tidak mau lagi memperkerjakan Sawinya, biasanya punggawa tinggal ngomong sama sawinya dengan kata-kata “ini bagianmu dari hasil pendapatanmu”, kemudian punggawa meminta mengembalikan sangke dan rantang yang dipinjamkan kepada sawinya sebagai wadah bekal sawi. Dari sini, punggawa lain tidak mau menerima Sawi dari punggawa tersebut dan berita ini tersebar luas ke punggawa-punggawa lain yang ada di daerah ini, kecuali nelayan Trowl (di luar Bagang). Ada juga punggawa yang menerima, tetapi sawi tersebut harus merubah sifatnya (tidak mau mengulangi perbuatan tercelanya lagi atau berbohong lagi). Setelah menyanggupi, baru punggawa menerimanya, tapi hal ini sangat jarang sekal”. (Wawancara prapenelitian, 23 Desember 2010).

Lebih jelas lagi, salah satu informan yang bernama Hi. Syarifuddin LK (55) memberikan keterangan sebagai berikut:

“Kalau anak buah yang baik sama-sama dapat, misalnya anak buah dapat Rp.30.000,- ya... setorlah sama saya sehingga saya dapat Rp.20.000,- anak buah dapat Rp.l0.000,- kadang-kadang anak buah tidak nyetor sama sekali sama saya, padahal saya tahu anak buah saya itu dapat walaupun sedikit. Inilah yang membuat saya marah dan kesal kepada anak buah yang begitu, akibatnya saya pecat itu anak buah. Jika anak buah dipecat, bagaimana sikap juragan? tergantung, misalnya punggawa A punya anak buah dan dipecat sama punggawanya. Sementana saya butuh anak buah untuk mengurusi Bagang saya, maka saya terima anak buah punggawa tersebut untuk menjadi anak buah saya, tetapi dengan persyaratan. Kemudian dalam kerjanya kita awasi, arahkan dengan baik. Caranya kita turun bersama-sama ke laut pada waktu-waktu tertentu”. (Wawancara prapenelitian, 23 Desember 2010).

Berdasarkan uraian di atas, dapat diperoleh suatu keterangan bahwa kerjasama antara punggawa dengan punggawa merupakan salah satu alat kontrol dari sistem sosial ekonomi punggawa dan sawi pada masyarakat nelayan, khususnya nelayan yang beretnis Bugis yang ada di wilayah Kelurahan Kota Karang. Kerjasama antara punggawa dengan punggawa yang terjadi di masyarakat nelayan bertujuan agar para pelaku yang ada atau terdapat dalam sistem sosial ekonomi punggawa dan sawi benar-benar dapat mematuhi aturan-aturan yang ada, baik tertulis maupun yang tidak tertulis. Aturan-aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang terdapat dalam sistem sosial ekonomi punggawa dan sawi merupakan nilai-nilai tentang kehidupan nelayan anggota masyarakat dalam berprilaku di masyarakat guna memenuhi kebutuhan bersama atau mencapai tujuan masyarakat secara baik dan benar. Dengan begitu, kerjasama yang terjadi diantara nelayan baik, nelayan sawi maupun nelayan punggawa terdapat suatu proses, dimana status dan peran yang ada di masyarakat nelayan diorganisisr kedalam sistem sosial, sehingga perbedaan-perbedaan dan ketegangan yang ada di masyarakat tidak meluas atau mempengaruhi sub sistem yang lain.

B.1.5 Pola Bagi Hasil

Pola bagi hasil yang menentukan tingkat pendapatan nelayan, baik nelayan juragan (punggawa) maupun nelayan buruh (sawi). Dalam bagi hasil, nelayan juragan memperoleh bagian lebih besar daripada nelayan buruh. Bagi hasil ini berlaku pada setiap tingkat skala penangkapan, bahkan dalam penangkapan modern, tingkat kesenjangan perolehan pendapatan antara nelayan pemilik dengan nelayan buruh sangat besar. Tingkat pendapatan yang diperoleh nelayan buruh semakin kecil, karena biaya operasi dan pemiliharaan peralatan alat tangkap cukup besar. Biaya tersebut harus ditanggung antara nelayan juragan dan nelayan buruh. Sebagaimana Wilson Therik, menjelaskan tentang bagi hasil penangkapan ikan sebagai berikut:

Setelah dijual semua hasil tangkapan sebagai pendapatan (income) lalu diadakan bagi hasil menjadi 3 bagian. Bagian pertama untuk biaya ransum, bagian kedua untuk perawatan bodi kapal dan bagian ketiga untuk ABPM/ABPL. Kepala bodi/kapten perahu motor mendapat fee (bonus) dari boss. Dilihat dari pola pembagian hasil tangkapan ini, maka boss mendapat dua bagian sedangkan nelayan mendapat satu bagian, suatu pola pembagian hasil tangkapan yang tidak seimbang bagi nelayan buruh. (Wilson Therik, 2008; 12)




Dalam pembagian hasil di masyarakat nelayan, khususnya nelayan tradisional mempunyai perilaku yang khas dalam menjalankan usahanya, yakni perilaku yang mengutamakan “pemerataan resiko” usaha. Perilaku tersebut terbentuk sebagai hasil adaptasi terhadap usaha penangkapan ikan yang memiliki resiko besar dan pola pendapatan yang tidak teratur dan tidak dapat diprediksi. Perilaku tersebut, setelah melalui proses waktu kemudian melembaga dalam bentuk institusi, dan merupakan bagian dari kebudayaan nelayan. Institusi-institusi yang dimaksud adalah pola pemilikan kelompok atas sarana produksi dan sistem bagi hasil. Pola pendapatan nelayan tidak teratur menyebabkan perilaku mengutamakan pemerataan resiko tetap bertahan.

B.1.6 Pengelolaan Penghasilan Usaha Dalam Keluarga

B.1.6.1 Pengelolaan hasil usaha dalam keluarga nelayan punggawa

Bagi keluarga punggawa dalam pengelolaan penghasilan usaha, terutama dari hasil penangkapan ikan melalui Bagang tidak menjadi persoalan mendasar bagi pemenuhan kebutuhan pokok hidup. Pada awalnya hasil dari usaha penangkapan ikan melalui Bagang dipergunakan untuk kebutuhan keluarga, seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan. Setelah terpenuhi kebutuhan pokok tersebut, maka keluarga punggawa mengalokasikan dana untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Dan apabila dari usaha hasil itu lebih, keluarga punggawa sering menghabiskan uangnya untuk membeli barang-barang mewah, seperti emas, televisi, kendaraan bermotor. Tetapi, ada juga yang mengirimkan hasil usahanya ke keluarga yang ada di Sulawesi Selatan agar digunakan untuk membeli tanah untuk mendapatkan penghasilan dan bisa digunakan untuk kebutuhan keluarga, sekaligus sebagai modal dihari tua nanti. Gambaran pengelolaan hasil usaha di keluarga punggawa pada nelayan etnis Bugis di Kelurahan Kota Karang dapat disimak dari penuturan Bapak Abu Bakar (63) dalam contoh kasus di bawah ini:

“Hasil dari usaha Bagang, pertama-tama untuk kebutuhan pokok seperti makan, ininum, sandang, sekolah dan biaya-biaya rumah, tetapi apabila hasil usaha lebih, maka ditabungkan. Ada juga yang dikumpulkan untuk membuka tambak, bisnis anak di luar kampung, seperti bisnis anaknya punggawa Hi. Ali yang ada di Jakarta. Kemudian ada pula yang dikirim ke keluarga asalnya, yakni di Sulawesi Selatan untuk dibelikan tanah atau sawah sebagai modal hari tua. Tetapi, rata-rata hanya kebutuhan pokok hidup saja dan ada juga yang hanya untuk begadangan bersama-sama dengan teman-teman, terutama para bujangan di sini”. (Wawancara prapenelitian, 26 Desember 2010)

Sebagian besar keluarga nelayan dalam pengelolaan hasil usahanya dititik beratkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari, walaupun ada nelayan yang menginvestasikan hasil usahanya dengan membelikan barang-barang yang sifatnya mewah, tetapi bagi nelayan yang masih muda, sebagian hasil dan usahanya digunakan untuk hura-hura bersama-sama teman-temannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan dan salah satu informan punggawa yang datang pada masa bujangan, yakni bapak Jamhari (67), memberikan gambaran tentang pengelolaan hasil usahanya dan masa bujangan sampai berkeluarga, sebagai berikut:

“Dari hasil usaha penangkapan ikan di laut melalui Bagang pada masa dulu (bujangan) sebagaian bapak kirim ke keluarga yang ada di Sulawesi Selatan kemudian sisanya bapak gunakan untuk kebutuhan bapak pada waktu itu (bujangan) dan sisanya untuk dikumpulkan (untuk biaya operasi esok hari) yang jumlahnya sedikit. Tetapi, setelah nikah untuk kebutuhan keluarga, yakni biaya makan, sandang, listrik dan pendidikan. Jadi pada masa bujangan kerja di laut merupakan pilihan lain (untuk mengisi waktu kekosongan). Jadi hasilnya digunakan untuk keperluan bujanganlah (banyak duit untuk hura-hura)”. (Wawancara prapenelitian, 26 Desember 2010).

Berdasarkan dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pengelolaan hasil hasil usaha dari penangkapan ikan di laut melalui Bagang oleh keluarga nelayan punggawa etnis Bugis yang ada di Kelurahan Kota Karang adalah untuk memenehui kebutuhan hidup sehari-hari, yaitu kebutuhan makan, sandang, pendidikan anak-anak, biaya listrik perawatan rumah dan lain-lain. Setelah kebutuhan pokok dapat terpenuhi, maka sisanya atau sebagaian hasil dari usaha di laut melalui Bagang bisa digunakan untuk modal usaha baru, membeli emas, membuat Bagang baru atau membeli Bagang baru atau bekas atau dikirim ke keluarga yang ada di Sulawesi Selatan untuk digunakan sebagai modal dihari tua nanti, seperti berkebun, membeli lahan untuk pertanian atau untuk membuat rumah. Namun, ada juga hasil dari usaha di laut digunakan untuk membeli kendaraan, membeli kapal motor, ditabungkan dan dijadikan sebagai ongkos menunaikan ibadah haji di Mekkah atau membeli barang-barang elektronik, seperti televisi, DVD Player, dan lain-lain. Hal ini sesuai penjelasan Wilson Therik tentang keadaan rumah nelayan Bajo di Tanjung Pasir Pulau Rote sebagai berikut:

Sekilas dari luar dengan tatapan mata seadanya, penanmpilan rumah bajo ini sangatlah sederhana, kumuh dan kotor serta jauh dari unsure kemewahan. Tetapi jika kita melihat masuk ke dalam ruang tamu, maka kita tak percaya kalau dibalik rumah nelayan Bajo yang kumuh dan kotor ini ada telivisi 24’, ada tape/radio/CD/VCD/DVD Player, ada Playstation, ada speaker active dan satu stel kursi sofa serta beberapa lukisan kaligrafi yang bernuansa Islami. (Wilson Therik, 2008; 6).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengolalaan hasil penangkapan ikan di kalangan keluarga nelayan punggawa didasarkan pada kebutuhan hidup yang berorientasi sosial dan budaya masyarakat nelayan. Dengan membeli barang-barang non primer dan dapat menyekolahkan anggota keluarga nelayan punggawa ke jenjang lebih tinggi dari rata-rata pendidikan yang dienyam oleh keluarga nelayan lainnya, dapat menunjukkan tentang kelas sosial keluarga nelayan punggawa tersebut di mata anggota masyarakat yang lain. Hal ini berdampak pada keyakinan dan kemantapan para sawi untuk selalu bekerja kepada kepada punngawa yang telah memberikan bukti nyata tentang sukses dalam memenuhi kebutuhan keluarganya dan meningkatkan kesejahteraan bagi anggota keluarganya.

B.1.6.2 Pengelolaan hasil usaha dalam keluarga nelayan sawi

Pengelolaan hasil usaha dalam keluarga nelayan sawi pada dasarnya hanya sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makan, sandang, biaya listrik. Sedangkan biaya pendidikan anak-anak hanya sebatas pada tingkat sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas saja, seperti hasil yang didapatkan oleh keluarga nelayan sawi pada etnis Bugis, terutama pada keluarga yang hanya bergantung pada seorang kepala keluarga saja, sedangkan anak-anaknya masih sekolah sehingga hasil usaha yang diperoleh oleh nelayan Sawi Bagang digunakan dengan sebaik-baiknya atau digunakan secara efisien dan efektif. Sehingga mereka bisa bertahan hidup dan dapat bekerja dengan baik.

Ekonomi keluarga yang hanya bergantung pada seorang saja, yakni kepala keluarga saja membuat keluarga nelayan sawi Bagang etnis Bugis tidak dapat memenuhi kebutuhan yang sifatnya konsumtif dan sangat jarang sekali untuk menyisihkan sebagian hasil usahanya untuk ditabung. Hasil yang didapatkan hanya melulu untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya rutinitas, seperti makan, sandang, biaya pendidikan anak-anak dan biaya listrik. Lebih jelasnya Kusnadi menjelaskan sebagai berikut:

Bagi rumah tangga nelayan buruh, yang terpenting adalah makan setiap hari dengan lauk pauk yang sangat sederhana. Lauk pauk yang umum adalah ikan laut sepanjang masih bisa diperoleh dari melaut dan sayur bening atau sayur asam.…masalah pemenuhan kebutuhan pangan menempati prioritas utama, dibandingkan dengan unsur kebutuhan pokok yang lain, seperti sandang dan papan. Kebutuhan akan sandang biasanya dipenuhi jika nelayan memperoleh penghasilan yang lebih dari cukup. Jika tingkat penghasilan yang demikian belum bisa dicapai, mereka pun tidak akan membeli pakaian, walaupun menjelang hari raya Idul Fitri. Sementara itu, masalah pemenuhan kebutuhan papan relative kurang diperhatikan dan tidak dapat diwujudkan dalam waktu yang singkat. (Kusnadi, 2002; 12-13)

Sedangkan bagi nelayan sawi etnis Bugis, yang tidak hanya bergantung pada seorang kepala keluarga saja yang mencari nafkah atau anak-anaknya ikut mencari uang dengan cara menjadi nelayan sawi pada juragan atau punggawa yang lain, bahkan isterinya ikut membantu mencari nafkah dengan cara membuka warung atau menjadi pedagang ikan di pasar. Biasanya dalam keluarga nelayan sawi etnis Bugis yang anak-anaknya ikut mencari nafkah adalah keluarga yang telah membiayai pendidikan anaknya hanya pada sekolah dasar dan pada tigkat sekolah lanjutan tingkat pertama atau atas, walaupun ada keluarga nelayan sawi yang mampu membiayai anaknya sampai pada perguruan tinggi, tetapi anak tersebut sebagian biayanya mencari sendiri. Sebagaimana Kusnadi menjelaskan tentang dampak kemiskinan masyarakat nelayan sebagai berikut:

Kemiskinan yang melanda rumah tangga nelayan buruh telah mempersulit mereka dalam membentuk kehidupan generasi berikutnya yang lebih baik dari keadaan mereka saat ini. Anak-anak mereka harus menerima kenyataan untuk mengenyam tingkat pendidikan yang rendah. Karena ketidakmampuan ekonomi orang tuanya, banyak anak tidak bersekolah atau drop out dari sekolah dasar sebelum mencapai kelulusan. Anak-anak dituntut untuk ikut mencari nafkah, menanggung beban kehidupan rumah tangga, dan mengurangi beban tanggung jawab orang tuanya. Dala situasi keterbatasan memperoleh pendidikan yang layak, kiranya sangat sulit menciptakan generasi atau sumber daya manusia yang lebih berkualitas dalam masyarakat nelayan. (Kusnadi, 2002; 19).

Pada keluarga nelayan sawi ini, mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bahkan sekali-sekali, hasil usahanya dimanfaatkan untuk memenuhi selera konsumtif, seperti membeli barang-barang elektronik, pakaian baru, dan makanan yang sifatnya mewah. Tetapi, sering juga pendapatan dari keluarga nelayan sawi ini ditabungkan sebagian, baik oleh seorang kepala keluarga, isteri maupun anak. Hal ini bertujuan untuk mungumpulkan modal dalam berusaha atau digunakan untuk kebutuhan keluarga yang sifatnya mendadak atau apabila keluarga tidak memperoleh penghasilan dari usahanya dalam jangka waktu yang panjang. Biasanya, sebagian hasil yang ditabungkan untuk modal usaha berupa barang-barang mewah, seperi emas atau benar-benar ditabungkan untuk membuat Bagang yang Baru. Lebih jelas Kusnadi menjelaskan sebagai berikut:

Dalam rumah tangga nelayan buruh terdapat mekanisme internal tentang” pengendalian diri” dalam bentuk menyisihkan sebagian penghasilan tersebut untuk ditabung dan jika memadai digunakan membeli emas atau barang-barang rumah tangga. Barang-barang tersebut merupakan bentuk investasi, yang bisa di manfaatkan sewaktu-waktu, ketika tidak ada penghasilan dari melaut. Bagi rumah tangga nelayan buruh, barang-barang tersebut memiliki nilai yang tinggi untuk menopang dan menyelamatkan kelangsungan hidupnya ketika menghadapi masa-masa kritis ekonomi. (kusnadi, 2002;15).

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dalam rumah tangga nelayan sawi etnis Bugis disesuaikan dengan tingkat penghasilan yang diperoleh oleh nelayan sawi, baik setiap hari maupun dalam satu trip penangkapan ikan (22 han) bukan ditentukan oleh tuntutan kebutuhan konsumsi normal yang harusnya dipenuhi. Oleh sebab itu, keluarga nelayan sawi etnis Bugis dalam sehari anggota keluanga bisa makan sekali atau dua kali tidak jadi masalah, karena sangat bergantung pada jumlah pendapatan yang diperolehnya. Jadi, kita dapat memperoleh suatu keterangan bahwa ekonomi masyarakat nelayan dapat dilihat dari dua perpekstif, yaitu pertama; perspektif ekonomi moral. Perspektif ini mendefinisikan nelayan sebagai “masyarakat tradisional” yang mengelola sumber daya laut dengan cara yang sederhana dan dalam mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai yang telah diyakini sejak dahulu. Keputusan yang diambil oleh nelayan dalam pengelolaan sumber daya laut didasarkan pada nilai-nilai kehidupan yang diperoleh melalui pengalaman pendahulunya dalam mengahadapi tantangan alam (laut) dengan suasana yang masih tradisional maka keputusan nelayan dalam pengelolaan sumber daya laut melebur dalam suasana yang ada dalam suasana pedesaan, yaitu mengutamakan kepentingan bersama dan berbasis pada pertimbangan moral. Hal ini dapat terjadi karena nelayan hidup dalam kondisi ekonomi subsisten, sehingga keputusan sosial ekonomi apapun yang diambilnya akan didasarkan pada pertimbangan moral, seperti dahulukan selamat, hindari resiko, dan utamakan kolektivitas atau kebersamaan.

Bagi peneliti dalam perspektif ini, nelayan bukanlah makhluk rasional dalam melakukan interaksi sosialnya satu dengan yang lain, nelayan bukanlah makhluk yang berani dalam mengambil segala resiko yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya laut, nelayan bukanlah sosok yang mau mempertaruhkan pencapaian masa kini dengan pengharapan masa depan melalui investasi, nelayan bukanlah makhluk yang tegas melupakan kolektivitasnya demi kepentingan individual. Karena dalam struktur sosial, dan kebudayaan masyarakat nelayan sangat longgar dan terbuka. Kelonggaran dan keterbukaan masyarakat serta kebudayaan masyarakat nelayan itu disebabkan karena terdapat tradisi terwujudnya kebudayaan Melayu yang terbiasa berinteraksi dengan dunia luar, proses pembauran, dan akulturasi unsur-unsur kebudayaan tanpa adanya suatu kepentingan ekonomi rasional yang mendalam di masyarakat nelayan, sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah mereka. Keterbukaan struktur sosial dan kebudayaan Melayu memungkinkan untuk mengakomodasi perubahan kebudayaan yang berbeda-beda, sepanjang hal ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama (Islam), adat-istiadat, dan sopan santun masyarakat Melayu. Perspektif ini menegaskan bahwa struktur sosial yang timbul dari nilai budaya asli mereka memberikan kesempatan kepada nelayan untuk bersikap pasrah terhadap lingkungan yang mereka hadapi. Hal inilah yang membuat nelayan tetap berada dalam masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Oleh karena itu, peneliti berusaha untuk memberikan suatu fakta sosial tentang subsisten keadaan/situasi dan kondisi sosial ekonomi yang ada dalam masyarakat nelayan yang menjadi indikator kemiskinan nelayan, terutama nelayan sawi . Di Kelurahan Kota Karang Kota Bandar lampung, sebagai berikut:

1) Nelayan juragan (punggawa) “melibatkan” nelayan buruh (sawi) sebagai tenaga kerja pada usaha penangkapan ikan miliknya dan seluruh hasil tangkapan akan dibagi dengan perbandingan 2:1 (2 bagian untuk juragan dan 1 bagian untuk nelayan buruh).

2) Hasil yang diperoleh oleh nelayan buruh (sawi) hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, seperti makan, minum. Untuk kebutuhan yang lain, seperti biaya sekolah anak-anak sawi, biaya listrik, dan lain-lain bukan periotas utama bagi nelayan buruh (sawi).

3) Kebutuhan material keluarga sawi, baik isteri maupun anak-anaknya menjadi tanggungan punggawa dalam bentuk pinjaman uang untuk bekal hidup mereka selama sawi (suami) pergi melaut. Hal inilah yang membuat sawi sulit untuk lepas dari punggawanya, walaupun penghasilan yang diperoleh dari bekerja pada punggawanya tidak bisa memenuhi kebutuhan.

4) Nelayan juragan (punggawa) mempunyai “kepedulian sosial” yang sangat tinggi dalam memberikan bantuan moril dan materiil kepada sawinya, anggota keluarga sawi dan anggota masyarakat pada umumnya.

Karakteristik inilah yang sebenarnya terjadi dalam sosial ekonomi masyarakat nelayan, baik yang tradisional maupun nelayan modern yang menggunakan kapal besar yang ada di wilayah kota Bandar Lampung. kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan terbangun dari nilai, tradisi, kekerabatan, pertalian tempat tinggal dan kebutuhan kerjasama akan kebutuhan minimum. Dalam perspektif ini, moralitas memainkan peranan penting, sehingga motivasi-motivasi perilaku ekonomi seseorang didasarkan pada moral yang dibentuk oleh suatu system nilai, kepercayaan dan kebudayaan. Kedua, perspektif ekonomi rasional. Perspektif ini memandang bahwa nelayan yang berada di negara berkembang, termasuk Indonesia dalam mengambil keputusan didasarkan pada hal yang bersifat rasional, seperti memiliki keberanian investasi, memiliki kalkulasi dalam menghadapi mekanisme pasar. Hal ini dapat terjadi pada masyarakat nelayan karena adanya perkembangan pendidikan dan penguasaan teknologi pada anak-anak nelayan sebagai generasi penerus yang diiringi dengan perubahan yang terjadi dalam struktur sosial masyarakat akibat adanya interaksi nelayan dengan masyarakat luar dan informasi yang sangat banyak dan positif tentang pengelolaan sumber daya laut yang masuk dalam sistem sosial ekonomi masyarakat nelayan.

Dengan perkembangan pendidikan dan teknologi di masyarakat nelayan dalam sistem sosial ekonominya dapat diketahui bahwa dibalik ciri kolektivitas nelayan terdapat tindakan individu yang mengindikasikan rasionalitas nelayan, dibalik keluhuran budi pekerti dalam hubungan patron klien terdapat perhitungan untung rugi, dibalik kegotongroyongan masyarakat nelayan terdapai individu yang berperilaku acuh tak acuh. Hal ini sama dengan analisis perkonomian pada masyarakat petani yang dijelaskan oleh Popkin (1979; 31 dalam Wilson Therik, 2008; 30), yaitu hubungan petani dengan orang-orang lain tidak selalu didasarkan atas beberapa prinsip moral yang umum, tetapi pada kalkulasi apakah hubungan-hubungan semacamitu tidak dapat atau akan menguntungkan diri dan keluarganya atau tidak. Di sini konsep atau sosok petani yang pasrah, menerima apa adanya dan hamper selalu tunduk pada aturan-aturan sosialnya, diganti dengan sosok seorang manusia yang universal (universalized economic man) yang mengambil keputusan di tengah jumlah dan tantangan. Karena asumsi nelayan rasional inilah kelembagaan tradisional nelayan dibiarkan terbongkar dan tergantikan oleh kelembagaan modern, karena asumsi nelayan tradisional ini pula membuat realitas penajaman stratifikasi ataupun polarisasi sosial lebih dilihat sebagai efek samping, karena asumsi nelayan rasional ini juga alih fungsi teknologi penangkapan ikan lebih dianggap sebagai suatu keniscayaan yang tak terhindarkan. Rasionalitas masyarakat nelayan etnis Bugis yang ada di Kota Bandar Lampung bisa dilihat dari hubungan-hubungan di antara anggota masyarakat, baik pada orang yang kedudukannya setaraf (orang yang mampu dengan orang yang mampu) maupun tidak setaraf (orang yang mampu dengan orang yang tidak mampu ), sehingga regulasi yang terjadi pada masyarakat nelayan etnis Bugis di tanah perantauan dapat dilakukan secara mandiri dengan membentuk struktur sosial ekonomi dalam mencapai kelayakan, kekayaan, kekuasaan dan kedudukan di masyarakat.

Perspektif peneliti tentang keadaan/kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan tentu akan berbeda dengan yang lain, sehingga orang lain dapat memberikan suatu penafsiran yang berbeda dengan peneliti dalam melihat sosial ekonomi masyarakat nelayan. Perbedaan itu bisa mencakup tentang perbedaan fisik (biologis maupun lingkungan), perilaku, gaya hidup, cara berpakaian, perhatian atau minat yang dapat dijadikan ukuran oleh orang lain dalam memandang sosial ekonomi masyarakat nelayan.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A. Zaenal.1983. Persepsi Orang Bugis Makasar Tentang Hukum,

Negara dan Dunia Luar. Bandung. Alumni Bandung.

------------------------1992. “Konsep Kepemilikan, Kebudayaan, dan Kewibawaan

di Sulawesi Selatan Dahulu Kala”. Dalam Kongres Kebudayaan 1991

Departemen Pendidikan dan Kebudyaan. Kebudayaan Kita; Kemarin, kini,

dan Esok; Warisan Budaya Penyaringan dan Pemeliharaan I. Jakarta. Depdikbud.

Amirin, Tatang M. 1996. Pokok-Pokok Teori Sistem. Jakarta. PT. Raja Grafinda. Persada.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi

VI. Jakarta. Rineka Cipta.

Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta.

Rineka Cipta.

Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro.

Surabaya. Insan Cendekia.

Darmawan Salman dan Taryoto, Andi H. 1992. Pertukaran Sosial pada

Masyarakat Petambak; Kajian Struktur Sosial Sebuah Desa Kawasan

Pertambakan di Sulawesi Selatan. Bogor. Agro Ekonomi Valume No. 1

Mei 1992. IPB.

Depdikbud. 1990. Tata Kelakuan di Lingkungan Pergaulan Keluarga dan

Masyarakat Makasar. Jakarta. Depdikbud.

--------------1982. Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sulawesi Selatan.

Jakarta. Depdikbud.

Fahmid, Imam. M. Gagalnya Politik Pangan di Bawah Rezim Orde Baru (Kajian

Ekonomi Politik Pangan di Indonesia). Jakarta. ISPEI.

Fitriyah, Laila. 2006. Stratifikasi Sosial dan Hubungan Kerja Nelayan

Desa Jatimalang Kecamatan Purwodadi Kabupaten Purworejo. Yogyakarta. UGM.

Hafid, Muh. Yunus, dkk.1996. Pola Pemukiman dan Kehidupan Sosial Ekonomi

Masyarakat Bajau Daerah Sulawesi Selatan. Ujung pandang-

Sulawesi Selatan. Depdikbud.

Harison, Lisa. 2007. Metodologi Penelitian Politik. Penerbit. Jakarta.

PT. Kencana.

Hasan, Razig, & Prabowo, Hendro. 2002. Perubahan Bentuk dan Fungsi

Arsitektur Tradisional Bugis di Kawasan Pesisir Kamal Muara, Jakarta

Utara. (online), (ftsp.gunadarma.ac.id/arsitektur/upload/Jurnal-Bugis.pdf –

Mirip, diakses 14 Mei 2010).

Ihromi, T.O. 1984. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta. PT. Gramedia.

Johson, Doyle Paul. 1994. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern I. Di Indonesiakan

oleh ; Robert M.Z. Lawang. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta.

Gramedia.

Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan; Kemiskinan Dan Perebutan Sumber Daya

Perikanan. Yogyakarta. LKIS Yogyakarta.

Kusnadi. 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan. Yogjakarta. Pondok Edukasi.

Lakitan, Benyamin, dkk. 1998. Metodologi penelitian. Palembang. Universitas

Sriwijaya Press.

Lexy J. Moleong. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT. Remaja

Rosdakarya.

Monografi Kelurahan Kota Karang. Maret 2003. Bandar Lampung.

Monografi Kelurahan Kota Karang. 31 Desember 2010. Bandar Lampung.

Mudjiyanto, Bambang. 2009. Metode Penelitian Etnometodologi dengan

Pendekatan Kualitatif dalam Komunikasi. Jakarta. Journal Komunikasi Massa Volume 5 No. 2. Depkoimfo RI.

M, Pahruddin H. 2010. Mengenal Hubungan Patron-Klien.

http://roedijambi.wordpress.com/2010/01/27/mengenal-hubungan-patron-klien/.Diakses hari senin, tanggal 1 November 2010.

Nawawi, Hadari. 1993. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta.

UGM Press

Nawawi, Hadari, dan Hadari, Martini. 2001. Instrumen Penelitian Bidang Sosial.

Yogyakarta. Gajah Mada University Press

Paeni, Mukhlis, dkk. 1995. Sejarah Kebudayaan Sulawesi Selatan. Jakarta.

Depdikbud.

Peursen, Van. C.A. 1985. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius.

Putra, Heddy S. A.1998. Minawang: Hubungan Patron-Klien di Sulawesi

Selatan. Semarang. UGM Press.

Rex, Jhon.1985. Analisa Sistem Sosial. Bina Aksara. Jakarta.

Sikki, Muhammad, dkk. 1991. Nilai-Nilai Budaya dalam Susastra Daerah

Sulawesi Selatan. Jakarta. Depdikbud

Soekanto, Soerjono.1982. Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta. CV. Rajawali

Susanto, Phil Astrid S. 1985. Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial. Jakarta.

Bina Cipta.

Susilo, Edi. 2010. Dinamika, Struktur Sosial Dalam Ekosistem Pesisir. Malang.

UB Press.

Klik di sini untuk membatalkan balasan.

Syukur, M. & Amiruddin. 2008. Perempuan Pedagang Antar Pulau dalam

Keterlibatan Pengambilan Keputusan pada Keluarga Bugis (Studi Kasus di Kecamatan Sibulue, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan). (http://www.depdiknas.go.id/publikasi/balitbang/074/j74_08.pdf - Mirip. diakses 14 Mei 2010)

Thontowi, Jawahir. 2007. Hukum, Kekerasan dan Kearifan Lokal Penyelesaian

Sengketa di Sulawesi Selatan. Yogyakarta. Pustaka Fahima.

Therik, Wilson M.A. 2008. Nelayan Dalam Bayang Juragan : Potret Kehidupan

Nelayan Tradisional Bajo di Tanjung Pasir, Pulau Rote, Nusa Tenggara

Timur. (http://WWW.ntt-academia.org/files/Wp6-WT-Nelayan-Bajo-Rote-o1-2008.pdf. diakses 29 April 2010).

Usman, Sunyoto. 2004. Sosiologi; Sejarah, Teori dan Metodologi. Yogyakarta.

Center for Indonesian Research and Development [CIReD]. Cetakan Pertama.

Wahyono, Ary, dkk. 2000. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Yogyakarta.

Media Pressindo.

Warsito, Rukmadi, dkk. 1984. Transmigrasi; Dari Daerah Asal sampai Benturan

Budaya di Tempat Pemukiman. CV. Rajawali.

Winoto, Gatot. 2006. Pola Pemukiman Nelayan Kelurahan Dompak Kota

TanjungPinang.http://eprints.undip.ac.id/17453/1/GATOT_WINOTO.pdf.

Diakses tgl 29 Oktober 2010.

Pengikut

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini ?

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani


visit counter

Arsip Blog